
Mesin kerja dari waktu ke waktu :’)
Sebagai front end / WordPress theme developer, umumnya klien gue adalah web desainer atau agency yang udah punya desain sendiri. Jadi mereka ngasih gue desain web dalam format .PSD
yang lalu kemudian gue slice, tulis HTML
-nya dan kalau yang bersangkutan butuh, gue jadiin WordPress theme biar bisa diintegrasiin ke WordPress. Selama dua tahun lebih berkutat seputar proses ini, ada dua masalah yang gue perhatiin sering kali muncul (FYI, kalo lu ngerasa asing dengan istilah ini ya wajar aja, dua istilah ini gue karang sendiri XD ):
1. Undesigned State
Nature web zaman sekarang udah komunikasi dua arah. Ada interaksi. Pengunjung web melakukan sesuatu, maka website-nya akan memberikan respon. Misalnya: pengunjung mem-posting komentar, melakukan pencarian, melakukan registrasi, dll. Yang sering terjadi: klien / web desainer hanya memberi desain dasarnya saja:
- Halaman home
- Halaman single article
- Halaman archive
Lah terus kalau button-nya di-hover bagaimana? Kalau link-nya diklik warnanya berubah jadi apa? Kalau melakukan registrasi tapi gagal bagaimana error message-nya harus ditampilkan? Kalau teks di-area tertentu panjang, bagaimana behaviornya?
Kalau interaksi-interaksi diatas ngga didesain, ya front end developer-nya jadi terpaksa ngarang dong. Pas diuji coba, baru muncul komplain eh kok yang ini tampilannya begini yah? Kok yang ini tampilannya begini ya? Dan kemudian gundukan revisi menanti :’)
Pesan moral untuk poin ini:
- Untuk klien yang nge-hire web desainer, jadilah lebih kritis. Begitu liat desain yang dikasih, coba bayangin bagaimana pengunjung akan berinteraksi dengan interface yang udah didesain. Lu udah bayar web designer mahal-mahal masa UI-nya ngga lengkap.
- Untuk web desainer, tolong interaksinya didesain juga dan buatlah hidup kami front end developer jadi lebih mudah :’)
2. Salah Desain
Poin kedua ini merujuk kepada desain yang ngga didesain pada tempatnya. Okelah secara visual desain webnya bagus, tapi kalo dipikir-pikir jatohnya lebih ke dekoratif dan secara fungsional tidak menyelesaikan masalah kan ngga oke juga. Beberapa contohnya:
- Desainnya bagus, tapi pas di-slice dan dibuat sprite-nya, ukuran dari gambarnya aja sampe 1 MB. Ya udah pasti lambat. Dan ketika kerasa lambat pas diujicoba, yang disalahin developer-nya *badummcessss*.
- Ngga hati-hati saat milih font. Sekarang implementasi @font-face udah lumrah sih, tapi perhatiin aspek legalitasnya ngga? FYI, selain legalitas beberapa font ngga siap dipake untuk @font-face. Ada yang kualitasnya jadi pecah lah, ada yang line-height-nya ngaco lah, dll.
- Ingin buat website yang support mobile browser tapi desainnya ngga mobile friendly. Contoh: clickable areanya terlalu kecil (Rekomendasi Apple untuk area untuk tap paling kecil itu 44 X 44 pixel. Coba baca Apple human interface guideline. ), lalu UI-nya terlalu bergantung pada kondisi hover sementara di touch interface ngga ada hover, dll.
- Ngebuat desain web ber-footer tapi kontennya make konsep infinite scrolling berdasarkan posisi window. Ya ngga akan bisa diakses footer-nya.
Mengenai masalah ini, gue pribadi sering menggunakan dalilnya Steve Jobs mengenai desain yang bagus: Design is about how thing works, not only about how thing looks.
***
Untuk saat ini baru dua hal itu aja yang cukup sering gue alami seputar front end web development. Ada yang punya pengalaman apa aja yang harus diperhatikan seputar front end development? I’d really love to hear that from you 😀
setuju banget,
buat point yg pertama, sebenernya ada solusi yg cukup umum: bikin semacam style guidelines. jadi selain nyuruh desainer buat nge-desain webpage, juga disuruh bikin style guidelines, isi style guidelines ini kurang lebih berisi inventarisasi komponen2 UI yg (mungkin) bisa dipake berulang kali, misalnya button (inc. every possible state), form element, typography, grid, etc.
contohnya ini punya github: https://github.com/styleguide/css/1.0 (ini sebenernya udh level teknis, tapi kurang lebih kyk gitu bentuknya)
terus ini juga sebenernya pernah dibahas di smashing magazine: http://www.smashingmagazine.com/2010/07/21/designing-style-guidelines-for-brands-and-websites/
buat yg kedua, ini kayaknya gegara desainernya kurang paham sama media implementasi rancangannya (browser). makanya gw selalu beranggapan klo desainer web mesti melek perkembangan teknologi web terbaru, ngga perlu bisa HTML/CSS/JS, tapi minimal tau apa aja fitur2 & batasan dari browser.
Standarisasi komponen UI ini penting agar tidak terjadi repetisi yang tidak terlalu penting ya. Idealnya tiap project web dibuat seperti ininya sih.
Yap, ini banget. Just because you’re good at print media, doesn’t mean that you’ll be good at digital media.
Yang kedua, point terakhir, nyadar nggak, itu juga dilakukan oleh Facebook! Bikin sederet link di footer padahal Newsfeednya pakai infinite scrolling. Saya pernah tertantang untuk mencoba mengklik link di sana, namun akhirnya saya menyerah 😀
Nyadar banget. Aneh juga sih perusahaan sekelas Facebook ngebuat UX-nya kaya gitu, curiga emang ngga didesain buat diakses jangan2? :))
Ehtapi sebenarnya bisa diakses sih, asal jangan dari halaman yang berbasis feed aja -__-“