Ada dua hal yang memiliki tempat khusus di alam pemikiran saya: pendidikan dan web.
Apa pentingnya pendidikan?
Mengapa saya senang memikirkan pendidikan secara khusus? Karena sejak usia sepuluh tahun saya semenjak saya memasuki sekolah menengah, saya sudah dijejali dengan ide betapa pentingnya pendidikan oleh sekolah menengah saya yang berslogankan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya perdamaian“. Terlebih lagi, kedua orang tua saya merupakan dosen di institusi yang menghasilkan pendidik se-indonesia dan saya pun mengambil jurusan pendidikan (tepatnya, pendidikan Bahasa Inggris). Well, lengkaplah sudah.
Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan sumber daya yang bisa menghasilkan kesejahteraan tak terbatas: manusia. Manusia yang terdidik bisa menciptakan surga di dunia, atau bahkan neraka di dunia. Saya senang sekali dengan salah satu poin yang pernah disampaikan Mario Teguh di acara Golden Ways-nya: Tidak ada kekayaan yang bisa diciptakan melebihi kekayaan yang dihasilkan pikiran manusia. Pemikiran manusia bisa menciptakan kesejahteraan luar biasa. Ambil contoh yang semua anda tahu: Bill Gates sang pendiri Microsoft yang berbelas-belas tahun pernah menjadi manusia terkaya didunia. Bagaimana kekayaannya tercipta? Bisnis software, hasil cipta dan karya pemikiran manusia. Bukan minyak atau emas yang dihasilkan oleh bumi dan dieksploitasi oleh pemerintah.
That’s why education is important. Bagi saya, pendidikan bermakna memanusiakan manusia: pengoptimalan potensi manusia. Pemberdayaan potensi sumber daya paling vital berlabel manusia.
Apa pentingnya web?
Lalu mengapa web memiliki ‘area’ khusus di otak saya? Saya mulai mengenal dunia web pada level yang lebih tinggi sesaat ketika saya belum berhasil memasuki program studi desain komunikasi visual yang saya inginkan semenjak sekolah menengah. Semenjak saya mengenalnya, saya tahu bahwa web akan menjadi dunia saya. Mulai jelas ketika sekarang saya mendirikan beberapa website, dan menjadi freelance wordpress theme developer bersamaan dengan kegiatan akademis saya.
Web is the next big thing: trend-nya meningkat, user basenya semakin hari bertambah banyak, perkembangannya benar-benar progresif – dan cepat atau lambat akan menjadi kebutuhan, cakupannya menembus batas wilayah geografis, dan biayanya sangat murah. Saya pribadi memiliki keyakinan jika saya harus menjadi outliers, gelombang inilah yang harus saya naiki.
Lalu bagaimana memadukan pendidikan dan web?
Idenya sangat sederhana: pendidikan sebagai inti-nya dan web sebagai media-nya. Bagi saya, definisi paling sederhana dan aplikatif dari pendidikan adalah “semua yang memberikan pemahaman baru kepada manusia”. Cakupan dari pendidikan itu sendiri sangat luas: pendidikan intelektual, pendidikan emosional, pendidikan finansial, pendidikan spiritual, pendidikan fisik, dan lain lain.
Sekarang masalahnya: pendidikan selalu terbentur oleh masalah klasik bernama keterbatasan media ruang dan waktu yang dilandaskan oleh dana. Web adalah satu-satunya media interaktif yang bisa mengatasi permasalahan ruang dan waktu (dalam cakupan tertentu, tentunya). Mari kita lihat berbagai media dan metoda distribusi pendidikan: buku bermasalah di interaktifitas karena komunikasi satu arah-nya. Televisi bermasalah di fleksibilitas waktu akses-nya. Sekolah bermasalah di pos dana, ruang, waktu, sumber daya dan birokrasinya.
Disinilah web bisa berperan. Contoh aplikasi web untuk pendidikan sudah banyak: let’s say wikipedia dan semua project wikimedia, academicearth, yahoo! answer (bukankah aplikasi ini mirip dengan siapa yang ingin bertanya silahkan acungkan jari dan berikan pertanyaannya, nanti akan saya jawab?), dan lain lain sebagainya.
Terlebih lagi, masyarakat pun sudah cukup adaptif dengan media ini. Contoh sederhana dari lingkungan mahasiswa di universitas tempat saya mengambil program sarjana saja: kemana mereka mencari referensi ketika assignments, paper dan berbagai tugas lain diberikan oleh dosen? Internet, bukan perpustakaan. Lebih spesifiknya: warnet untuk mereka yang tidak memiliki akses, hotspot kampus untuk mereka yang memiliki notebook, dan rumah bagi mereka yang memiliki akses internet di rumah.
Seorang kawan yang juga author dari sebuah blog lokal populer yang membahas web & social media pernah menggelontorkan ide sporadis namun tajam ini:
Begitu anak2 alay (generasi bb) ini menginjak 25-an, internet udah pasti kondusif buat macem2:p
Masalahnya
Seperti semua hal lain di dunia, aplikasi web untuk pendidikan pun memiliki masalah: realibilitas, validitas, dan anonimitas. Saya pernah mendatangi sebuah seminar untuk pasca sarjana yang pembicaranya berkata “saya tidak merekomendasikan wikipedia sebagai referensi di lingkungan akademis karena faktor anonimitasnya. Siapapun bisa menulis disana, bagaimana kita tahu kompetensi dari si penulis artikel apakah dia seorang profesor atau seorang anak smp yang baru mengenal internet?”
Dan begitu pula hal yang lainnya. Jika kita perkecil lingkupnya di lingkup akademis (yang memiliki segudang aturan mengenai kutip-mengutip, mengambil acuan, dll), web menjadi sangat bermasalah di bidang realibilitas, validitas dan anonimitas ini. Seorang pelajar bisa saja mendapatkan referensi yang bagus ketika berselancar di web, namun apakah referensi tersebut bisa dipertanggungjawabkan ke-absahan-nya? Siapa yang menulis referensi tersebut? Apa latar belakang pendidikannya? dan berbagai hal lainnya.
Solusinya: wadah
Mari biasakan untuk fokus kepada solusi alih-alih kepada masalah. Masalahnya sudah jelas: anonimitas, validitas, dan realibilitas. Solusi yang terbersit di kepala saya: sediakan saja wadahnya. Wadah yang memastikan bahwa konten yang disajikan di dalamnya valid.
Contoh yang paling mendekati dari gagasan saya adalah academicearth. Saya suka sekali konsep dari situs yang satu ini: buat situs, rekam pembelajaran / aktifitas lecturing di satu kelas ketika membahas satu topik spesifik tertentu, lalu distribusikan via web.
Mengapa tidak kita lokalisasi ide cerdas ini? Buat situs yang reliable – saya rasa sejenis social network untuk niche akademik dimana (ah, ide saya jadi bercabang dan liar. Akan saya post di postingan selanjutnya. A so called LinkedIn for educators and learners? Atau facebook apps for academic purposes? haha :D). Setelah itu, undang para akademisi dan praktisi untuk berbagi satu tulisan / video podcast lecturing / audio pocast seminar yang membahas satu hal yang spesifik sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing.Β Belum cukup sampai disitu? integrasikan dengan berbagai aplikasi social media populer: twitter, log in dengan facebook connect, whatsoever, you named it.
Jika jumlah praktisi dan akademisi di Indonesia ada 0,01% saja dari jumlah populasi, dan masing-masing dari mereka mau memberi satu saja video/audio/tulisan sesuai dengan bidang keahlian professional mereka, berarti ada 10,000 konten yang masuk.
Berarti ada 10,000 kelas pembelajaran yang tercipta.
Pencerdasan masif terhadap bangsa Indonesia. Dengan cakupan yang lebih luas dan jangkauan yang lebih besar.
Masalah klise bernama pendanaan
Oke, jika ide ini dieksekusi, saya yakin dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Tapi jika ide ini dijalankan dan penetrasinya luar biasa, mari kita urutkan siapa saja yang akan menerima imbas dari hal ini. Setidaknya:
- Industri Internet Service Provider
- Industri hardware
- Industri software
- dll
Oke, mari kita panggil satu – satu: Wahai Telkomsel, Indosat, Fastnet, Apple, Toshiba, Acer, Asus, Axioo, Sony, Microsoft, Google, Yahoo!, dan semua yang terlibat dalam setidaknya tiga industri diatas, mana dana CSR kalian?
π
P.S:
Silahkan kontak saya jika ada yang berniat mengeksekusi dan atau mendanai ide ini. Masih banyak ide lain yang bisa saya tambahkan.
tepat sekali jika web sebagai salah satu sarana memajukan pendidikan. Kalau saya pribadi memilih web interface karena proses pemasangan yang terbilang cukup mudah dan dapat dipanggil cukup dengan browser saja.
Kalau bicara proyek web untuk pendidikan rata2 semuanya masih sampai tahap cetak biru dan sedikit implementasi, ya itu tadi keterbatasan dana…
Departemen yang katanya informasi saja masih belum jelas arahnya sampai di mana..?? bahkan hanya karena surat elektronik di level komunitas kecil malah bikin orang di penjara.
Intinya saya setuju dengan opini anda bung….
kereeeen…jauh banget sama blog aku yang absurd!hehe….
Maaf OOT
Menampilkan Entri Populernya make apa itu OM? bisa dishare om? ada jumlah coment dan viewnya…
@Micokelana
Yap, kebanyakan masih dalam tahap rencana. Di generasi kita mungkin implementasinya? π
@Chooey
Semuanya juga butuh proses π
@Jauhari
Wah, sang wordpress guru bertandang ke blog saya! π Itu pakai WordPress popular post Pak. http://rauru.com/wordpress-popular-posts
Memang demikian, dalam hal akademis kita memang harus hati-hati dalam mengambil bahan yang bersumber dari internet. Dan ini juga harus ditekan pada para siswa.
Tetang wadah, dalam tataran praktis, bagaimana jika di suatu sekolah wadah tersebut berupa software semacam wiki, dimana kontennya bahan ajar dan referensi yang disusun oleh gurunya masing2 sehingga tidak anonim dan validitas konten bisa dipertanggungjawabkan …
Semoga bos2 CSR perusahaan2 tersebut mbaca tulisan anda. Idenya keren lho π
@nonadita
wah, ada nonadita kemari. what an honor! π
yap, semoga ide ini tersampaikan kepada mereka2 yang menjadi kunci agar hal ini terlaksana π
@taqim
yap, ide dari posting ini seperti yang Pak Taqim ungkapkan, hanya saja dalam wadah yang lebih besar π
Di kedokteran ada AskDrWiki, OpenMedicine, yang mungkin kurang keren jika disandingkan dengan peer-reviewed berbayar. Setidaknya keterbukaan dengan antarmuka web memang sedang naik daun.
Tulisan dan idenya memang sedang meletup-letup ya, Mas Fikri? π
good idea…
satu yang dinanti: generasi anak saya yang sekolah dengan bawa satu laptop saja. punya lebih banyak waktu untuk berbagi dengan sesama. hiyaaa.. π hehehe
sudah bawa laptop saja, datanya disimpan di cloud pula. lalu mereka mengikuti kelas teleconfrence global yang diajar oleh dosen / guru kelas dunia dan mengerjakan tugas secara kolaboratif dengan teman dari negara lain. waw, mantap tenan. π
masalah nyatanya bukan dana kok mas, bukan juga teknologi. teknologi gratisan yang sekarang ada itu sudah jauh dari cukup untuk membuat semisal academicearth.
selama bergulat di dunia akademis dengan dukungan teknologi IT yang mumpuni, masalah utamanya tetap konten, baik itu orisinal maupun kutipan. budaya menulisnya dulu yang mesti dikembangkan. jadi bersiasatnya bukan lagi berfokus kepada fasilitas.
meng-online-kan seluruh jurnal valid yang ada di Indonesia.. itu mungkin langkah paling rasional yang mungkin dilakukan di awal…
yap, teknologinya memang sudah ada. tapi pengimplementasian teknologi tersebut secara terpadu untuk tujuan yang saya bahas di tulisan ini yang belum ada. dan memang masalah utamanya itu di content creation sih, percuma jika enginenya ada tapi kontennya tidak ada. Nah, untuk content creation tersebut lah saya rasa dana berperan: untuk mengkampanyekan si wadah itu sendiri dan menggerakkan budaya menulis tersebut. meskipun ada beberapa opsi dalam menggerakkan budaya menulis (dan aspek teknis seputar penulisannya sendiri tentunya) tersebut, saya rasa hal ini tetap butuh dana yang cukup besar Pak.
bagaimana pendapat anda? π
alhamdulillah ada penerus muda berbakat seperti anda. Salut!! smoga ilmu yang tlah diberikan bermanfaat dunia akherat. amin3x
terima kasih. wah, saya sih belum sebegitunya, tapi semoga apa yang saya bagikan ini bermanfaat untuk anda dan orang2 π