Saya tidak pernah suka fakta bahwa siswa sekolah harus menggunakan seragam, apalagi kalau alasannya “demi menghilangkan kesenjangan sosial“. Menghilangkan kesenjangan sosial apanya? Keberagaman itu sendiri merupakan default setting kehidupan. Sekalipun pakaiannya disamaratakan (yang saya pikir sosialis sekali), kesenjangan itu tetap akan terlihat: dari sepatu yang dikenakan, dari handphone yang dijinjing, dari lingkaran pertemanan yang dijalin, dari wangi parfum yang dikenakan, dari grup-grup yang dibentuk orang tua murid, dan lain-lain.

Mengapa mereka tidak kita pahamkan?

Niat awal “meminimalisir” kesenjangan memang mulia: agar siswa dapat berbaur dan tidak minder. Namun melihat faktanya, yang terjadi akan tetap sama: yang kaya bergaul dengan yang kaya, sementara yang miskin tetap bergaul dengan yang miskin. Yang populer dengan yang populer, sementara yang tersisihkan bergerombol dengan yang tersisihkan.

Saya meyakini bahwa perbedaan diciptakan Tuhan untuk tujuan yang Mulia. Bukankah kita diciptakan berbangsa-bangsa agar saling mengenal? Mengapa tidak kita biarkan pikiran siswa bebas dengan membiarkan mereka mengekspresikan dirinya melalui pakaian yang dikenakan kesekolah (dengan batasan norma tertentu tentunya – sebelum anda membahas masalah etika berpakaian)? The way they dress is a statement. Biarkan mereka tampil berbeda dan biarkan mereka pahami bahwa di dunia nyata, kita harus belajar menerima perbedaan. Anda lihat ormas-ormas penuh kekerasan yang berusaha “menyeragamkan” Indonesia melalui aksinya? Bukankah yang besar diawali dari yang kecil?

Efek penyeragaman intelejensia

Izinkan saya bercerita satu pengalaman kecil saya. Saya hidup di sekolah yang mendefinisikan dirinya sebagai pesantren selama 6 tahun. Disana, kelas lelaki dan perempuan dipisah: kelas A dan B. A untuk laki-laki dan B untuk perempuan. Kelas kemudian dipisah lagi berdasarkan intelejensia: laki-laki dengan rata-rata nilai 9 keatas masuk ke kelas BA. Laki-laki dengan nilai rata-rata nilai 8 keatas kelas CA. Demikian seterusnya hingga FA (hingga SMA kelas 2 sebelum akhirnya di juruskan IPA BA 1, IPS BA 1 dan seterusnya. FYI, intelejensia saya mentok di IPA BA 4 lol).

Niat pembagian kelas ini mulia: agar murid dapat dididik sesuai kemampuan belajarnya. Terlepas dari niat “mulia” tersebut, tahukah anda apa yang terjadi?

Murid-murid kelas FA, dilatar belakangi kesamaan kurangnya motivasi belajar cenderung menjadi “lebih liar” karena mereka mendapatkan “teman sepemahaman”. Nongkrong-nongkrong dan kabur dari ruang kelas sudah bukan hal yang asing lagi. Malah lebih parah karena persentase perkelasnya jadi banyak. Murid BA pun sama saja: karena mendapatkan teman-teman yang “cenderung pintar”, tukar-menukar intelejensia saat ujian (baca: MENCONTEK) dan kemalasan belajar menjadi hal yang sangat lumrah. Pengecualian terhadap hipotesa ini selalu ada, tapi ini fenomena global yang berlaku. Saya tidak berniat membuat kesimpulan dari pengalaman ini, anda dapat menyimpulkannya sendiri.

It’s just an example

Jadi, apa maksud saya menceritakan hal ini? Untuk memberitahu anda bahwa “penyeragaman” bukanlah selalu hal yang baik. Untuk beberapa hal, penyeragaman mungkin bagus: dokumentasi kode, standar operasi kerja, dll. Tapi untuk hal-hal seperti penyeragaman pakaian di sekolah, saya rasa hal tersebut bukan hal yang baik mengingat sekolah adalah tempat penanaman nilai.

Untuk jadi yang terbaik, belajarlah dari yang terbaik. Google adalah perusahaan internet terbesar di era internet sekarang ini dan saya suka sekali salah satu filosofi (dan penjelasan-nya) mereka:

You can be serious without a suit

anda bisa serius tanpa mengenakan jas.

Our founders built Google around the idea that work should be challenging, and the challenge should be fun

Pendiri kami membangun Google dari ide bahwa bekerja harus menantang, dan tantangan seharusnya menyenangkan.

Saya mengakui fakta bahwa untuk hal-hal seperti ini, saya lebih liberal dan individualis, bertentangan memang dengan budaya komunal masyarakat kita. Lalu apa masalahnya? Pada hakikatnya, kita semua memang sendiri. Tidak mungkin teman, keluarga dan sahabat kita selalu ada SETIAP SAAT. Untuk anda yang meyakini pun, di kehidupan setelah inipun kita akan dibangkitkan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita tidak berusaha menjadi diri sendiri dan membantu orang lain “menemukan” dirinya sendiri?

Salah satu penyakit kronis hampir seluruh masyarakat di dunia adalah membiarkan orang lain menentukan apa yang menjadi nilai-nilai penting dalam hidup. Televisi mendefinisikan bahagia sebagai hedonisme. Masyarakat menentukan bahwa “mendapatkan kehidupan” adalah dengan mendapatkan kerja yang baik dan hidup “mapan” dari pekerjaan itu. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa saya kutip disini.

Saya memilih untuk mengatakan “cukup” untuk semua hal itu. Bagaimana dengan anda?

P.S.

Untuk acara-acara insidental seperti inisiasi / orientasi dan acara-acara yang melibatkan pihak luar, seragam mungkin diperlukan untuk membangun “perasaan kekeluargaan atau memiliki” dan identitas; Tapi tidak untuk pemakaian sehari-hari. Biarkan siswa menjadi dirinya sendiri.