DUGM: Dongeng Untuk Generasi Mendatang #1
***
Beberapa minggu yang lalu saya menyetir PP Bandung – Cilegon bersama keluarga untuk menghadiri pernikahan sepupu disana. Perjalanan ini memakan waktu lebih dari 5 jam menggunakan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, berulangkali satu pertanyaan sederhana muncul di pikiran saya:
Dulu, zaman tutur tinular atau entah zaman apa namanya, berapa jam waktu yang dibutuhkan untuk orang berkendara dari Bandung ke Cilegon menggunakan kuda atau moda transportasi lain yang lumrah digunakan di zaman itu?
Terdengar konyol dan tidak penting sih, tapi saya selalu bertanya-tanya bagaimana kehidupan di zaman dulu:
Kehidupan tanpa koneksi selular.
Kehidupan tanpa kendaraan bermesin.
Kehidupan tanpa kemampuan untuk mengetahui kejadian yang berlangsung di belahan bumi lain dalam hitungan detik.
Kehidupan tanpa demokrasi. Kehidupan tanpa kapitalisme. Kehidupan tanpa perbankan.
Kehidupan tanpa gagasan – gagasan yang kita anggap lumrah hari ini.
Kehidupan dengan tatanan budaya sosial dan ekonomi yang sangat berbeda.
Kehidupan yang terdengar sangat mustahil untuk kita yang saat ini, namun leluhur kita selamat melewatinya.
Terkadang saya berharap pria tua itu duduk di samping saya menceritakan bagaimana kehidupan di zaman ia jaya, atau di zaman leluhurnya. Namun saya tidak pernah memiliki pengalaman tersebut. Kedua kakek saya wafat saat ayah ibu saya beranjak dewasa. Kedua alm. nenek saya (sepengetahuan saya) bukan tipe pencerita. Tulisan – tulisan yang menjelaskan bagaimana kondisi saat mereka jaya dan kehidupan – kehidupan yang lalu pun tidak bisa saya temukan.
Saya ingin bercerita untuk (hopefully, amin) anak cucu dan keturunan saya, anak cucu keturunan kamu atau anak cucu keturunan siapapun. Jika saya diberi kesempatan, dengan asumsi yang sangat optimis saya bisa saja bercerita hingga level cucu yang kemungkinan sudah ada dalam rentang waktu 60 tahun kedepan. Namun bagi generasi yang hadir 100 tahun mendatang, atau 250 tahun mendatang, atau bahkan 500 tahun mendatang, saya tidak akan mungkin hadir secara langsung untuk mereka. Jadi inilah usaha saya: memanifestasikan cerita yang saya ingin ceritakan dalam bentuk tulisan.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan selamat melewati puluhan atau bahkan ratusan tahun untuk sampai kehadapanmu, pun apakah format tulisan ini masih bisa dibaca oleh kecanggihan teknologi pembacamu. Saya juga tidak tahu apakah Bahasa Indonesia yang saya gunakan ini masih ada dan lestari di era mu. Yang saya tahu,
Kalau kamu belum mengusahakan yang terbaik, kamu tidak akan pernah benar-benar tahu.
Entah seperti apa era-mu nanti: surga dunia di masa kejayaan setelah turunnya Imam Mahdi, atau cyber-punk doom dimana kamu terpaksa tinggal di perut bumi dan diperangi oleh mesin seperti di film trilogi The Matrix. Tapi jika suatu saat kamu bertanya, seperti apa rasanya hidup di tahun 2000-an dan seperti apa kehidupan di masa-masa ini, hear me now kids. This is your (future) old man speaking.
Fikri Rasyid, 25 Januari 2012
Ditulis menggunakan aplikasi Evernote for Mac di mesin MacBook Pro 13″ Bersistem Operasi OSX Lion di rumah Cikutra dalam keadaan belum sarapan dan mandi. Dipublikasikan menggunakan WordPress versi 3.3.0
Sumpah fik gua merinding bacanya. Jadi inget film (lupa judulnya) yang ninggalin kapsul dan isinya surat dari masa lalu untuk generasi mendatang.
Gue tau, ini film tentang alien itu kan, filmnya si Cage? 😀
Semoga kita masih bisa bercerita kepada cucu kita, aaaamiiin… 🙂
Amen 😀
hahahhahahahha makanya juga saya nulis tentang orang tua saya. Bapak yang cuma saya temui dalam waktu 4,5 tahun. Dan, bercerita banyak tentang Mak yang masih ada sekarang. Biar nantinya anak-anak saya tahu tentang mereka. Anak-anaknya, anak saya dan seterrusnya. Menulis itu mengabadikan. Semoga tulisan-tulisan kita masih berlaku di zaman mereka 🙂
Amiin 😀
aminnnnnn