Semalam, saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman hingga larut malam. Salah satu topik obrolan kita adalah betapa korupnya bangsa ini: dari gayus dan perpajakan, bea cukai, kualitas jalan yang jelek sehingga selalu rusak dan selalu ada orderan, dan lain-lain.
Saya jadi melamun. Bagaimana menyembuhkan “penyakit” ini dari masyarakat kita ya?
Kalau saya pikir-pikir, akar masalah dari korupsi bukan ada di hukum yang mudah diakali atau institusi hukum yang lemah. Korupsi lebih ke masalah budaya. Korupsi, dalam pandangan saya, setidaknya disebabkan oleh dua hal:
- Kecintaan berlebihan terhadap harta.
- Berfikir bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan harta adalah dengan cara yang tidak baik.
Untuk poin pertama: Harta itu bukan tujuan, melainkan dengan alat. Tidak ada yang salah dengan memiliki harta yang berlimpah. Kamu bisa menolong banyak orang kurang mampu (menyumbang sekolah, memberi beasiswa) jika kamu punya banyak harta. Yang jadi masalah adalah jika kita menjadikan uang sebagai tujuan: memper-Tuhan-kan uang. Berfikir kalau ada uang, segalanya jadi beres.
Untuk poin kedua, saya yakin tidak ada orang yang ingin menjadi bad guy dengan cara korupsi. Andaikan ada cara yang baik mendapatkan uang, mengapa harus menggunakan cara yang buruk? Sialnya, kebanyakan orang hampir tidak tahu caranya mendapatkan uang yang berkelimpahan / berkecukupan dengan cara yang baik.
Sekarang, coba pikir: andaikan semua orang tahu bahwa mereka bisa berkecukupan / berkelimpahan dengan cara yang baik dan tahu BAGAIMANA CARANYA mendapatkan penghasilan yang mencukupi segala kebutuhan mereka, serta memiliki tujuan yang jelas dalam hidup yang mana tujuan tersebut bukanlah “menumpuk uang sebanyak-banyaknya” melainkan hidup bahagia dan memberi manfaat untuk sesama, apakah budaya korupsi massal di negeri ini akan tetap ada?
Jika jawabannya “tidak”, ini bisa jadi hal yang cukup berharga untuk diperjuangkan.
Menurut saya ada perbedaan perpektif mahasiswa dengan penjabat pemerintah. Perspektif itu cara memandang tindakan yang dinamakan korupsi itu dianggap sebagai bentuk kejahatan atau pembelaan diri atau hal lain. Apakah itu? Saya juga tidak tahu.
Akan tetapi, saya curiga jika faktor untuk melakukan tindak pidana korupsi, yakni keterdesakan. Maksudnya keterdesakan di sini yakni ketika orang itu tidak melakukan korupsi *di mana orang lainnya melakukan* ia merasa tidak bisa melakukan hal-hal ekstra seperti demikian halnya yang dilakukan oleh yang lainnya itu. Saya curiga hal-hal yang tidak bisa dilakukan itu adalah kesetiaan pegawai kepada atasan, kesulitan naik jabatan, kecaman pihak ketiga, atau hal-hal ekstra lainnya yang mengancam ke-eksis-an dia di pemerintahan/bekerja.
Mohon maaf jika pemahaman saya terhadap perspektif itu salah. Saya masih belum berumur kepala dua. *eh* 🙂
huahaha, bawa2 umur dia. detik ini pun saya belum kepala dua sih *tsah
ya, keterdesakan itu juga bisa dipertimbangkan sebagai salah satu faktor. Tapi tadi saya pikir2 lagi, jika kita kerucutkan, sebenarnya intinya ada dua poin: cara kita melihat sesuatu dan gaya hidup. akan saya bahas di post berikutnya 😀 *ceritanya biar penasaran*