Japan Trip 2017

Dec 17 – 23

Kota

Hari

Video

Foto

Gue selalu ingin ke Jepang namun gue tidak pernah berencana untuk pergi ke Jepang di tahun ini. Alasannya sederhana: sepanjang tahun ini gue cek harga tiket Indonesia ke Asia Timur dan harga-nya selalu di luar budget gue. Kelirunya, gue ngga ngecek harga dari berbagai referensi. Untungnya adik gue belakangan bilang kalau ada penerbangan LCC murah ke Asia Timur.

Sepercik informasi ini membuat gue penasaran dan kembali melakukan riset harga. Setelah gue hitung lagi, ternyata budget-nya masuk dan ada waktu yang tepat untuk berangkat. Walhasil, gue dan Nzi langsung melakukan segala macam persiapan perjalanan dalam waktu kurang dari satu bulan. Hasilnya, berangkatlah kita ke Jepang di akhir tahun 2017.

Day 1

Bandung – Jakarta – Tokyo

Gue dan Nzi dapat penerbangan ekonomi full service pagi tanpa transit menggunakan JAL dari bandara Soekarno-Hatta ke Narita. Ini pertama kalinya gue menggunakan JAL dan gue cukup puas: tata letak kursinya lumayan lega (2 – 3 – 2), makanannya lumayan enak, dan film-film yang tersedia relatif baru. 

Akhirnya bisa ke Jepang juga!

Kita terbang sekitar jam 7:00 pagi dari Soekarno-Hatta dan tiba di Narita sekitar jam 04:00 sore. Saat mendarat, matahari masih terlihat. Namun karena sedang musim dingin, matahari terbenam lebih cepat. Sesaat setelah urusan koper selesai dan gerbang imigrasi dilewati, matahari sudah tidak terlihat dan udara sudah sangat dingin.

Rencana ketibaan sudah kita susun rapi: begitu keluar dari area imigrasi kita segera mencari vending machine yang menjual simcard paket data U-mobile untuk satu pekan yang biasa dibandrol dengan harga JPY 2,500. Simcard lokal dengan paket data merupakan satu hal yang selalu gue cari sesegera mungkin setibanya gue tiba di negara asing. Akses internet berarti Google Map dan Google Translate. Senyasar-nyasarnya gue, masih bisa lah nyari jalan pulang ke hotel. 

Japanese Yen (JPY)

=

Indonesian Rupiah (IDR)

Buat gue, cara paling mudah untuk memperkirakan harga di Jepang adalah tambah saja nol-nya dua. Sebagai ilustrasi: JPY 2,500 menjadi IDR 250,000. Akuratnya, kalikan 1,3 (karena kurs sebenarnya JPY 1 = IDR 131) jadi IDR 325,000.

Omong-omong, ketersediaan sim-card di Jepang ini rada aneh dan bakal butuh (lebih dari) satu tulisan sendiri untuk membahasnya. Tapi dari yang kita teliti, U-Mobile dengan harga JPY 2,500 memberikan rasio harga dan layanan yang paling oke untuk kebutuhan kita: akses tujuh hari, batas data 220MB per hari dan jika sudah habis masih bisa mengakses internet dengan kecepatan yang diturunkan (paket data dari kartu lain biasanya berbasis kuota dan kuota yang benar-benar unlimited di luar budget kita).

Kiri: vending machine untuk sim card. Kanan: Nomer gerbong yang tertera di tiket akan berhenti persis disini, membuat penumpang tahu persis dimana harus menunggu dan mengurangi antrian yang tidak perlu

Beres beli sim-card yang diwarnai dengan insiden kudu nyari mini-market untuk mecahin duit karena vending machine-nya cuman nerima maksimum JPY 5,000 sementara money changer di Bandung ngasih kita pecahan JPY 10,000 semua, kita langsung jalan ke kantor JR Office (JR ini semacam PT. KAI-nya kita lah) untuk nge-book tiket shinkansen ke Kyoto untuk hari ketiga. Kita udah beli JR Pass (tiket terusan untuk jalur JR Pass selama periode waktu tertentu) untuk satu minggu pas di Bandung, jadi disini tinggal nge-book aja. Saat kita nge-book tiket, officer-nya ngasih tau bahwa JR juga ada kereta cepat dari Narita ke Tokyo Station daerah hotel tempat kita nginep. Jadilah kita sekalian nge-book tiket untuk ke Tokyo Station

Beres nge-book tiket untuk ke Tokyo Station, kita turun ke platform dengan perasaan cemas takut ketinggalan kereta. Kita ngga tau berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari satu poin ke poin lain. Belum lagi, semuanya terasa baru dan asing tapi sangat teratur dan exciting. Untungnya semua petugas sangat ramah. Ditambah lagi, semua informasi vital memiliki signage yang dapat diidentifikasi dengan mudah plus ketepatan waktu kereta jepang yang legendaris benar adanya: ikuti saja informasi yang tertera di tiket dari waktu, nomer platform, sampai nomer gerbongnya. Setiap platform memiliki nomer gerbong dan gerbong yang bersangkutan akan berhenti tepat di nomer gerbong yang telah ditentukan persis satu-dua menit sebelum waktu yang tertera di tiket.

 

Impresif.

Platform kereta dari bandara Narita ke Tokyo Station. Waktu datangnya akurat sekali.

Perjalanan dari Narita menggunakan kereta cepat memakan waktu kurang dari satu jam dan kita sedikit lebih cepat dari waktu yang tertera di tiket. Tokyo Station terasa sangat sibuk dan Jepang sekali: banyak sekali orang dengan setelah jas dan jaket musim dingin berlalu-lalang dengan sangat cepat dan efisien. I’m in awe with what i saw in front of me.

Mengganti + mengaktivasi simcard di kereta Narita – Tokyo.

Begitu sekat terakhir dari stasiun terbuka dan kita berdiri persis di depan pintu keluar, udara musim dingin yang sangat menusuk langsung menghajar.

Gue tumbuh besar membaca berbagai jenis manga. Imaji yang gue miliki tentang Jepang dan Tokyo sekarang muncul di depan mata gue.

Kita berjalan kaki cukup jauh dari platform kereta sampai ke permukaan. Tokyo Station merupakan hub dimana banyak jalur kereta berkumpul: tata letaknya lumayan kompleks dan terdapat banyak pintu keluar. Saat di kereta, kita sudah memasang simcard lokal shingga kita bisa  mengandalkan Google Maps untuk mencari jalan keluar. Begitu sekat terakhir dari stasiun terbuka dan kita berdiri persis di depan pintu keluar, udara musim dingin yang sangat menusuk langsung menghajar. Waktu itu suhu udara masih ada di angka satu derajat dan tidak ada salju yang turun. Namun satu hal tentang musim dingin buat bocah tropis macam gue: it was so freakin cold. Gue mengenakan jaket parka dan satu lapis kaus dan langsung kedinginan. Tangan gue langsung mati rasa. Gue dan Nzi langsung menepi dan membuka koper, kelabakan mengambil syal dan sarung tangan. Nzi langsung mengenakan jaket tambahan.

Beres mengamankan badan yang kedinginan, kita langsung jalan menyeret koper ke hotel. Kita menginap di Smile Hotel Nihonbashi Mitsukoshimae yang terletak tidak jauh dari Tokyo Station. Kita book hotel-nya menggunakan Traveloka dan kita cross-check di berbagai layanan lain untuk memastikan jaraknya benar dekat dari stasiun. Pengalaman-pengalaman sebelumnya, “jarak dekat” dari stasiun yang hanya beberapa ratus meter itu biasanya cukup jauh pada aslinya. Dan memang benar ternyata: jarak 800 meter yang tertera dan terasa dekat itu menjadi jalan kaki beberapa blok dalam kedinginan musim dingin Tokyo. 

Kiri: Jalan kecil di sekitar Smile Hotel nihombashi-mitsukoshimae. Kanan: Mario Bros Go-Kart Tokyo.

Sesampainya di hotel, kita istirahat dan membereskan koper. Beres istirahat singkat, kita jalan keluar lagi untuk mencari makan malam sambil jalan-jalan kecil sekitar hotel. Ternyata Smile Hotel dan Tokyo Station secara umum ini terletak di kawasan bisnis di Tokyo: hotel ini dihimpit oleh gedung-gedung kantor tinggi dimana literally hampir semua orang mengenakan setelan formal dan jaket musim dingin dengan warna monokrom. Hampir semua orang pulang kerja, dan banyak sekali salarymen & salarywomen yang mampir di kedai dan bar sekitar untuk bersosialisasi dengan rekan kerjanya. Kalo lu pernah baca manga yang genre-nya slice of life, nah yang gue lihat ini seperti apa yang digambarkan di manga dengan genre ini.

Kita memutuskan untuk makan di kedai makanan Malaysia yang ada notice halal-nya. Cara mencari makanan halal relatif gampang sebenarnya: buka Google Maps dan cari “halal restaurant nearby“. Sepengetahuan gue Jepang sedang menggenjot wisatawan dari negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Gue ngga tau hal ini berkorelasi atau ngga, namun selama di Jepang halal restaurant relatif searchable. Waktu itu masih sekitar jam 8 malam, tapi suasana malam sudah sangat gelap karena sedang musim dingin. Kabar baiknya, jalan kaki malam-malam di Tokyo rasanya aman sekali. Jarang terlihat orang berdiam dan terlihat mencurigakan. Semua orang bergerak dan mengurusi urusannya masing-masing.

Kita berangkat dan pulang ke kedai makan dengan berjalan kaki. Kaki sudah pegal rasanya, namun taksi di Jepang ini konon (dan kita alami langsung besoknya) mahal jadi kita konsisten jalan kaki saja sambil menikmati suasana distrik perkantoran Tokyo di malam hari. Beruntungnya, di perjalanan pulang kita mendapati salah satu pemandangan yang paling Tokyo sekali: Street Mario Kart Go-Cart Racing di jalanan Tokyo.

Jalan kaki malam-malam di Tokyo rasanya aman sekali. Jarang terlihat orang berdiam dan terlihat mencurigakan. Semua orang bergerak dan mengurusi urusannya masing-masing.

Daily Recap

Bandung

Jakarta
Soekarno-Hatta Airport

Tokyo
Narita Int’l Airport
Tokyo Station
Smile Hotel Tokyo

Soekarno Hatta Airport

Berangkat dari Soekarno-Hatta Airport Indonesia jam 7 pagi

Narita International Airport

Tiba di Narita sekitar pukul 4 sore.

Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae

Bermalam di Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae Tokyo

Day 2

Tokyo’s Asakusa, Akihabara, & DiverCity Odaiba

Gue dan Nzi bangun pagi dengan perasaan sangat excited. Kita akan jalan-jalan ke keliling Tokyo hari ini!

Yang membuat jalan-jalan ini lebih seru adalah kita ngga menggunakan layanan tour guide jadi kita ngulik dan menyusun sendiri mau kemana dan menggunakan apa. Bagian paling susahnya sebenarnya menentukan mau kemana-nya: untungnya sekarang informasi mengenai point of interest yang layak dikunjungi berterbaran di Internet jadi bisa riset via internet. Namun ada juga sialnya: informasi yang tersedia ini banyak banget jadi kadang yang terjadi adalah overload information dan bingung mau kemana.

Kalau tujuannya sudah ketemu, mencari rute-nya sebenarnya relatif lebih mudah: Google Map di Jepang sudah relatif sangat cerdas untuk mencari rute metro, bus, dan taksi dari satu titik ke titik lainnya lengkap dengan estimasi biaya perjalanannya.

Dari yang kita baca, Tokyo ini secara tematik banyak menunjukkan sisi modern dari Jepang. Sisi tradisionalnya juga banyak, namun dari kecenderungan lebih banyak sisi metropolitan dan pop culture-nya. Maka dari itu untuk hari pertama, kita berencana ke Asakusa / Senso-Ji (kuil tradisional jepang), Akihabara (pop-culture), dan DiverCity plaza di Odaiba dimana ada patung Gundam Unicorn dengan skala 1:1 mejeng disana (Geek alert lvl. 100).

Waktu masih pagi dan dingin sekali tapi off to Asakusa we went. Hasil pencarian Google Map menunjukan bahwa metro secara rasio waktu dan biaya paling memungkinkan untuk digunakan jadi kita memutuskan untuk menggunakan Metro, sekalian merasakan transportasi publik Jepang yang legendaris itu.

Rute metro dari stasiun terdekat ke daerah Asakusa. Langsung sampe menggunakan Ginza Line

Gue dulu sempat baca kalau di Jepang ini segala macam vending machine ada. Setelah datang langsung, stereotype ini memang benar adanya. Di bandara kemarin simcard banyak di jual menggunakan vending machine. Di gang-gang Tokyo menuju hotel, vending machine yang menjual minuman tersebar dimana-mana. Ibaratnya kalau di Indonesia sudut-sudut gang ini ada warung, kios, atau pedagang asongan, di Tokyo ini ada vending machine-nya. 

Hal yang sama berlaku dengan stasiun metro bawah tanah dan urusan perkereta-apian di Jepang. Di tiap gerbang masuk ada satu gerbang yang dijaga manusia, tapi 90% tiket dijual dan dibeli menggunakan mesin yang menerima uang kertas dan koin. Penduduk Tokyo-nya sih kebanyakan membayar Metro menggunakan kartu / e-money, namun e-money-nya juga bisa di top-up menggunakan mesin yang sama yang menjual tiket. Semuanya serba efisien: semua petugas manusia yang bisa diotomatisasi dipangkas. Namun ketika aspek manusia dibutuhkan seperti petugas-petugas yang bisa ditanyai mengenai informasi dan lainnya, bisa dipastikan petugas-petugas ini berada diposisi yang tepat. Keseimbangan yang menarik buat gue pribadi.

Menggunakan metro / kereta api bawah tanah ini mudah sekali. Rute kereta bisa kita cari tahu dengan mudah menggunakan Google Maps. Setelah rute diketahui, cukup pergi ke stasiun Metro dan cari gerbang masuk-nya. 

Di depan gerbang masuk, selalu ada deretan mesin untuk membeli tiket dan peta jalur kereta besarnya. Dari peta ini kita bisa tahu berapa stasiun yang akan dilewati dan berapa harga tiketnya. Secara garis besar, 1 – 5 stasiun pertama biasanya memiliki harga tiket yang sama. 6 – 8 stasiun berikutnya, harga naik sedikit, dan demikian seterusnya.

Setelah harga tiketnya diketahui, tiketnya bisa dibeli langsung di mesin penjual tiket yang menerima uang koin dan kertas dan dapat digunakan dalam berbagai bahasa ini. Masukan uangnya lalu pilih tiket-nya. Jika jumlahnya tidak pas, mesinnya akan langsung mengeluarkan kembalian.

Setelah tiket ada di tangan, masuk ke gerbang masuk dengan memasukkan tiket ke mesin di gerbang. Tiket ini akan diberi tanda berupa lubang dan harus diambil lagi. Simpan tiket ini dan naik kereta yang dituju. Turun dari kereta saat keluar dari gerbang, masukkan lagi tiketnya untuk membuka gerbang; kali ini mesin akan menyimpan tiketnya dan lu cukup jalan keluar. 

Salah satu hal paling ngangenin dari trip ke Jepang buat gue adalah naik transportasi publik yang sangat bisa diandalkan. Kiri atas: booth mesin penjual tiket. Kanan atas: mesin penjual tiket yang mendukung berbagai bahasa. Kiri bawah: tiket metro tokyo. Tengah bawah: masuk ke gerbang metro menggunakan mesin otomatis. Kanan bawah: berdiri di dalam metro yang sedang berjalan

Asakusa

Asakusa & Kuil Senso-Ji

Kuil Senso-Ji ini merupakan salah satu kuil yang paling ramai di kunjungi turis di area Tokyo. Kalau lu pengen liat kuil di sekitar Tokyo, kemungkinan besar lu akan ke Senso-Ji. Kuil dan kompleks-nya cukup besar: ada satu gerbang lengkap dengan lampion raksasa yang akan lu temui saat masuk; di sekelilingnya pun terdapat kuil – kuil dan bangunan peribadatan lain.

Seperti semua yang kita banyangkan tentang jepang: area peribadatan ini sangat – sangat bersih, rapih, teratur, dan entah mengapa sangat menarik untuk dilihat.

Japan is a photogenic country. Kalo lu hobi fotografi, sulit sekali untuk jalan-jalan tanpa sedikit-sedikit berhenti dan mengambil beberapa gambar. They’re that visually pleasing.  

Kiri atas: gerbang utama Senso-Ji. Kanan atas: pengunjung kuil hendak berdo’a. Kiri bawah: salah satu kuil di Senso-Ji.. Tengah bawah: Nzi di gerbang utama Senso-Ji. Kanan bawah: Suasana sekitar Senso-Ji

Kita sempat masuk kuil utamanya dan jalan-jalan di sekitar Senso-Ji sampai kaki pegal dan perut terasa lapar. Pagi tadi kita ngga sempat sarapan besar dan hanya sarapan onigiri yang kita beli di Family Mart saat jalan ke hotel semalam. Untungnya, di sekitar Senso-Ji ternyata ada kios kaki lima yang jual makanan-makanan ringan khas Jepang. Yang gue ngga habis pikir, kaki-lima ini tetap terlihat rapih, visually appealing, dan bersih di sekitarnya: tidak ada sampah berserakan dimana-mana.

Setelah mengkonfirmasi kepada mamang-mamang penjual bahwa takoyaki ini tidak menggunakan babi atau alkohol dengan bantuan Google Translate, akhirnya kita milih duduk-duduk dan makan takoyaki. Di sekitar area pedagang makanan ini ada vending machine minuman juga, jadi lengkap lah. 

Kiri: pedagang Takoyaki di sekitar Senso-Ji. Kanan: sarapan Takoyaki.

Beres makan, kita berencana jalan ke tujuan selanjutnya namun saat jalan keluar kita baru sadar bahwa saat jalan masuk tadi kita menggunakan jalur samping karena rute itu merupakan rute tercepat yang diberikan Google Maps. Saat keluar, kita keluar dari pintu utama dan mendapati bahwa di luar gerbang utama area kuil Senso-Ji ini merupakan semacam pasar / bazaar tempat orang-orang berjualan souvenir. Jalan panjang hingga ke jalan raya dimana ada toko-toko souvenir di kiri dan kanannya. 

Kita berjalan-jalan tidak terlalu lama di daerah ini, namun udara mendadak terasa dingin sekali sampai begitu kita menyadari ada cafe yang sudah buka (kita mulai jalan cukup pagi dan belum banyak cafe / restoran yang buka) kita langsung masuk dan ngopi dulu. 

Padahal baru aja ngemil takoyaki 😂

Beres ngopi, kita jalan lagi ke stasiun metro terdekat untuk meluncur ke tujuan berikutnya: Akihabara.

Jalan sambil celingak-celinguk kiri-kanan. Banyak banget barang menarik.

Akihabara

Don-Quijote & Japan Pop Culture

Setelah ngopi-ngopi dan badan hangat kembali, kita bertolak ke daerah Akihabara yang notabene merupakan daerah pop-culture-nya Jepang: manga, anime, you name it. Kita ke Akihabara naik metro. Ini kedua kalinya kita naik metro dan kita sudah mulai “ngeh” dengan tata-cara naik metro. Cari rute di Google Map, jalan ke stasiun, cek harga rute, beli tiket mesin, masuk ke gerbang otomatis, tunggu kereta, naik kereta, tunggu sambil perhatikan ini sudah di stasiun mana, turun kereta, keluar gerbang, dan voila sampailah kita di Akihabara.

Beberapa langkah keluar stasiun metro, warna-warni budaya pop Jepang langsung memborbardir mata. Toko di depan ini jual segala macam hal berbau anime, manga, dan figurin. Toko depan ini jual segala macam hal elektronik. Bangunan di depan ini menjual segala macam RC dan model kit. Me gusta. 

Setelah jalan-jalan kecil melihat situasi, akhirnya kita putuskan untuk masuk ke Don Quijote dulu. Don Quijote ini semacam toko yang jual segala macam barang dan souvenir dan kerap disebut di berbagai vlog yang kita tonton untuk riset perjalanan ini. Nzi semangat banget masuk Don Quijote. Konon katanya di Don Quijote ada banyak make-up import yang tersedia dengan harga hanya separuh dan bahkan sepertiga-nya.

Kiri: Don Quijote Akihabara. Belakangan kita tahu kalau Don Quijote ini ada dimana-mana. Kanan: di dalam Don Quijote Akihabara.

Kita keluar Don Quijote dengan tangan penuh kantong belanjaan. Jadi saat di dalam kita menemukan banyak sekali barang dan banyak dari barang-barang ini cocok dari sisi value dan harga untuk dibeli sebagai oleh-oleh. So while we’re at it, we decided to buy plenty for souvenirs. Maksudnya ya sekalian aja biar nanti ngga usah mikirin oleh-oleh.

Setelah dari Don Quijote, kita jalan-jalan keluar masuk toko-toko bertema otaku di sekitaran Akihabara. Gue ngga beli apa-apa. Jalan-jalan di sekitar Akihabara aja sudah membuat gue cukup senang. Bayangkan dari remaja lu baca manga yang setting-nya tentang slice of life di Jepang dan suatu saat lu berjalan di jalan yang sama. It feels pretty darn good. Seperti Deja Vu: gue belum pernah kesini tapi terasa familiar.

Salah satu departement store di Akihabara. Perhatikan apa saja yang mereka jual

Beres jalan-jalan di daerah Akihabara, kita makan siang di Ayam-Ya, restoran ramen bersertifikat halal yang berada di sekitaran Akihabara. Catatan tentang makanan bersertifikat halal: lu bakal nemu banyak turis-turis dari Indonesia dan Malaysia disana. Selamat datang!

Kiri: Kedai Ayam-Ya. Dimana ada restoran bersertifikat halal, disitu ada banyak turis dari Asia Tenggara. Kanan: Hidangan yang disajikan di Ayam-Ya.

Di Ayam-ya gue merasakan pengalaman yang Jepang banget lagi. Gue pikir vending machine itu cuma digunakan untuk menjual produk di tempat-tempat umum, tapi ternyata ngga juga: cukup populer di banyak restoran di Tokyo dimana alih-alih lu mesen ke waitress, lu masuk ke restorannya dan dihadapkan dengan vending machine: lu masukin uang, pilih makanan yang lu mau, lalu akan keluar kupon. Lu masuk ke area dining lalu ngasih kuponnya ke waitress dan dia akan nyiapin makanan lu. Jadi memang di segala area dimana keterlibatan manusia bisa di-efisienkan, maka akan di-efisienkan.

Beres dari Ayam-ya, kita terlalu pegal untuk sekedar jalan ke stasiun metro. Akhirnya kita memutuskan untuk naik taksi pulang ke hotel untuk naro belanjaan + istirahat sejenak dan merasakan sendiri mahalnya taksi di Tokyo yang legendaris itu: kayanya kalau dikonversi dan dihitung-hitung, kena IDR 100,000 per 1 km deh.

Lesson learned.

Odaiba

DiverCity Plaza & 1:1 Gundam Unicorn Statue

Setelah istirahat sejenak, langit sudah mulai gelap karena malam datang lebih awal di musim dingin. Kita berjalan ke stasiun untuk kemudian naik metro dan kereta ke daerah Odaiba dimana DiverCity Tokyo (mall) Plaza berada. Di DiverCity Tokyo ini ada patung gundam RX-0 Unicorn dengan skala 1:1. Gue bukan fans gundam in particular tapi gue suka banget segala hal mengenai giant robot. I just do. Dan sementara gue sedang berada di Tokyo, gue sudah berniat menggunakan kesempatan ini untuk ngeliat seperti apa sih rasanya ada giant robot (it is technically statue, but the feeling is probably close enough) di depan mata lu secara langsung. Dan dari yang gue alami langsung di Odaiba.

It was freaking spectacular.

Gila gede banget. Tingginya kurang lebih sekitar tiga lantai. Gue ngebayangin apa yang terjadi jika benda sebesar ini bergerak di jalan-jalan kota. Kalo di banyak kota di Asia, bakal kepleset kabel yang menjuntai dimana-mana sih.

Still, it was a very awesome experience seeing this thing directly.

Mengenai lokasinya, Odaiba ternyata merupakan pulau hasil reklamasi di lepas pantai Tokyo. Jadi untuk mencapai Odaiba, kita naik kereta yang melewati rainbow bridge dari Tokyo ke daerah Odaiba. Sampai di Odaiba dan turun di Daiba Station, kita jalan beberapa ratus meter di Plaza Daiba d bawah langit sore Tokyo sampai tiba di DiverCity Mall. Kita masuk mall lalu jalan terus sampai tiba di Plaza-nya, dimana patung Gundam RX-0 Unicorn dengan skala 1:1 bersemayam.

Kiri atas: pintu masuk DiverCity Mall. Kanan atas: patung Gundam RX-0 Unicorn skala 1:10. Kiri bawah: tampak belakang patung gundam RX-0 Unicorn skala 1:1. Kanan bawah: Berfoto dengan patung gundam RX-0 Unicorn di photo booth resmi.

Beres keliling-keliling dan foto-foto di sekitaran Gundam Unicorn, kita makan malem di DiverCity dan balik ke hotel untuk istirahat.

It was a really fun day.

Daily Recap

 

Tokyo
Smile Hotel Tokyo
Asakusa
Senso-Ji
Akihabara
Don-Quijote
Ayam-Ya
Odaiba
DiverCity Plaza

Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae

Bermalam di Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae Tokyo

Senso-Ji @ Asakusa

Salah satu kuil di Tokyo yang sangat populer dan kerap dikunjungi turis

Don Quijote @ Akihabara

Salah satu souvenir shop yang sangat populer di Jepang

Ayam-Ya @ Akihabara

Salah satu kedai makan bersertifikat Halal yang kita temukan di sekitar Akihabara

DiverCity Plaza @ Odaiba

Plaza dimana patung Gundam RX-0 Unicorn dengan skala 1:1 berada

Day 3

Tokyo’s Imperial Garden, Shibuya, Harajuku & Shinjuku, 

Hari kedua. Kita bangun pagi dan bersiap sesegera mungkin. Hari ini kita masih akan jalan-jalan di sekitar Tokyo.

Seperti hari kemarin, hari ini kita akan berkeliling menggunakan metro. Jika kemarin pikiran gue sangat fokus untuk tiba di tujuan secermat mungkin, berbekal dengan pengalaman jalan-jalan kemarin, pikiran gue lebih rileks saat berjalan ke stasiun ke metro pagi ini.
Sejak hari kedatangan kemarin, ada beberapa hal yang bisa gue garis bawahi mengenai suasana Tokyo, khususnya daerah Tokyo Station yang notabene daerah perkantoran tempat gue menginap:
R

Rapih

Semua hal yang lu temui, bahkan bangunan-bangunan di gang kecil, seakan-akan sejajar mengikuti grid yang tidak terlihat. Semua hal terlihat rapih dan seimbang.

R

Aman

Bahkan di saat malam sudah gelap sekali, jalan-jalan di Tokyo tetap terasa aman. Tidak ada orang yang nongkrong dan bertindak-tanduk mencurigakan. Semua orang bergerak.
R

Seragam

Mayoritas orang yang gue temui menggunakan jas + jaket musim dingin dengan warna monokrom. Semuanya terlihat seperti inspektur megure di Detektif Conan.

Mengenai poin yang terakhir, ternyata kondisi ini hanya terjadi di daerah sekitar gue menginap karena hotel-nya berada di daerah perkantoran. Belakangan hari itu gue lihat sendiri betapa berwarna-nya Tokyo.

Beberapa suasana pagi daerah sekitar Tokyo Station yang sempat gue tangkap:

Kiri: pekerja kantoran menunggu lampu hijau untuk menyebrangi jalan Kanan: menyebrang jalan, Tokyo style

Imperial Palace East Garden

Literally taman timur istana kaisar

Tujuan pertama yang didatangi hari kedua adalah Imperial Palace East Garden atau yang dengan bebas gue terjemahkan menjadi “kebon timur istana kekaisaran”. Tempat ini masuk ke berbagai list rekomendasi tujuan di Tokyo dan gue pribadi tertarik untuk datang kesini karena gue kira selain taman kekaisaran, gue bisa liat istana kekaisarannya juga. Tapi ternyata ngga ada akses masuk komplek istana kekaisarannya. Benar-benar hanya akses ke tamannya yang guedeee banget.

Meskipun begitu, ngga nyesal juga datang kesini kok. Kemarin udah ngerasain area tradisional & area pop-culture, di Imperial Palace East Garden ini ngerasain area kekaisaran dan taman di Tokyo.

Secara garis besar, ada dua hal yang gue inget dari perjalanan ke Imperial Palace East Garden: pertama suasana lokasinya yang beda jauh dengan tempat-tempat yang kita datangi sebelumnya. Lokasinya ngga berada di tengah-tengah kota banget dan sepanjang jalan turun dari stasiun metro ke lokasi ada banyak anak sekolah apa mahasiswa pada jogging (berbeda dengan lokasi hotel yang kebanyakan pekerja kantoran dengan jas dan tas-nya). Hal kedua yang gue inget banget dari taman ini adalah lokasi-nya yang guedeee banget. Taman kekaisaran ini dibatasi parit raksasa dari jalan. Jadi setelah nyebrang jembatan agak panjang, gue masuk dari pintu (sepertinya) barat. Sebelum masuk tas diperiksa dulu karena ada beberapa benda yang dilarang untuk dibawa (salah satu-nya drone). Setelah tas diperiksa, kita diberi tiket masuk (gratis) dan dipersilahkan jalan. Di dalem kita jalan lumayan jauh, ngeliat beberapa bangunan kecil yang memiliki nilai historis seperti bangunan untuk para serdadu, kepala serdadu, dll, dan akhirnya keluar di pintu di sisi yang berlainan dari pintu yang gue masuk tadi.

It’s just freakin huge.

Suasana di sekitar dan di dalam Imperial Palace East Garden. Gue berharap gue membawa wide lens saat mengunjungi tempat ini. Apa daya hanya membawa prime lens 35mm untuk lensa APS-C dan pocket camera RX-100. So here comes some portrait shot.

Keluar dari East Garden, kita jalan lagi ke metro terdekat untuk melanjutkan perjalanan hari itu ke salah satu daerah paling ikonik di Tokyo: Shibuya.

Shibuya

Shibuya Crossing & all that jazz

Kalau lokasi yang kita kunjungi kemarin cenderung moderate, Shibuya ini anak muda banget ambience-nya: hip, enerjik, dan warna-warni! Salah satu tempat atau hal yang kita ingin liat dan rasakan secara langsung adalah shibuya crossing: perempatan yang sangat padat dengan pejalan kaki dan begitu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala, pejalan kaki dengan jumlah yang sangat banyak berhamburan menyebrangi jalan dengan cepat dan efisien.

Dipikir-pikir lucu juga ya, nyebrang jalan aja jadi pengalaman unik. Tapi memang setelah ngerasain sendiri, suasananya memang beda sih.

Stasiun metro tempat kita turun persis berada di depan Shibuya Crossing. Jadi begitu muncul ke permukaan, yang kita dapati langsung adalah riuh-nya Shibuya. Dari kemarin gue dan Nzi sempat ngobrol mengenai orang-orang yang kita temui di jalan kok monoton ya. Di Shibuya ini obrolan kita kemarin jadi ngga relevan: disini semuanya cerah warna-warni dan setiap orang terlihat unik dan berbeda.

Shibuya Crossing

Kiri atas: patung hachiko di Shibuya yang terkenal dan selalu dikerubungi pengunjung. Kiri bawah: me trying to keep my cool at Shibuya crossing while being super excited insideKanan atas: shibuya crossing dari sudut lain

Setelah puas berkeliaran di sekitar Shibuya Crossing, gue dan Nzi mulai jalan-jalan ke jalanan yang ada di sekitar shibuya sambil nyari makan. Karena sudah kadung lapar, kita akhirnya memutuskan untuk makan di gerai fast food yang ada di depan mata. Beres makan kita jalan-jalan lagi di sekitaran Shibuya, liat-liat segala macam yang hanya bisa ditemui di sekitaran Shibuya sampai pegel. Gue pribadi ngerasa jalan-jalan bebas ngerasain langsung suasana Tokyo ini menyenangkan sekali. Untuk entah keberapa kalinya gue bilang ini: scene-scene yang biasanya hanya gue lihat di panel manga, muncul di depan mata gue secara langsung. They look similar.

kiri dan kanan atas: jalan menyusuri gang-gang di Shibuya. Bersih, nyaman, dan aman. Kiri bawah: kemarin sempat nonton dokumenter tentang harga resale-nya yang gila-gilaan jadi mumpung di Shibuya penasaran pengen liat tokonya langsung. Hypebeast! Kanan bawah: fancy vallet officer

Beres berkeliaran di seputar Shibuya, kita mencoba bertolak ke arah Harajuku namun kita agak kebingungan ini sebenarnya kita udah nyampe daerah Harajuku atau belum sih? Hahaha. Karena berkeliarannya jalan kaki, walhasil kita pegel banget dan berakhir di warung kebab yang kita temui untuk istirahat dan isi tenaga dulu. Dari warung kebab ini kita sempat jalan-jalan lagi sebelum akhirnya kita memutuskan untuk menyudahi jalan-jalan di daerah itu karena sudah mulai gelap dan kita mau pergi ke tujuan terakhir kita hari itu: VR Zone di Shinjuku.

Keramaian terakhir di entah-secara-teknis-ini-di-mana. Sudah mulai gelap dan tenaga sudah mulai habis banget. Until next time, Shibuya!

Shinjuku

VR Zone Shinjuku

Tempat yang gue ingin kunjungi di Shinjuku adalah VR Zone yang baru saja menyediakan wahana VR Mario Kart racing. Gue inget beberapa bulan sebelumnya membaca artikel dan video-nya The Verge and it looks super fun. Jadilah gue berujar kepada diri gue kalau nanti gue ke Tokyo gue ingin nyobain juga VR game ini.

Ternyata akhir tahun 2017 jadi ke Tokyo. Yasudah, gue genapkan lah keinginan gue diwaktu lalu itu. Dengan segenap sisa tenaga yang tersisa (Kita ngga boleh terlalu capek karena besok pagi sekali harus ngejar Shinkansen ke Kyoto), kita naik taksi ke Shinjuku.

Taksi yang gue tumpangi mengarah langsung ke VR Zone, tempat yang gue tuju di Shinjuku. Tempatnya terlihat masih baru. Entah memang baru, atau memang orang Jepang ini sangat apik dalam merawat barang. Nzi sudah pegel sekali sampai untuk main pun kurang berminat. Jadi kita beli dua tiket masuk dan satu tiket terusan untuk 4 wahana VR. Ada beberapa belas wahana VR yang tersedia dan wahana-wahana ini dikategorikan ke dalam 4 kategori dan tiket terusan berlaku untuk satu wahana di setiap kategori. Kalau mau main lebih dari 4 wahana, bisa beli tiket satuan. Ribet dan relatif mahal memang, tapi layanannya memang apik: Setiap pengunjung diberi alas untuk google-nya agar tetap bersih dan diberikan pengarahan yang cukup di setiap wahana. Tempat menunggunya pun sangat baik dan properly staffed.

Setelah menimbang-nimbang permainan apa yang akan gue jajal, akhirnya gue membuat keputusan:

Wahana pertama yang gue jajal adalah Mario Kart Racing VR dan ini wahana yang paling mengasyikkan buat gue. Terlebih lagi saat go-kart-nya meloncati tebing. Sampe heboh sendiri gue. Setelah Mario Kart, gue menjajal Evangelion VR yang lumayan rame namun buat gue terlalu pendek. Gue butuh beberapa waktu untuk familar dengan kontrol-nya dan begitu gue mulai familiar, eva gue keburu habis dihajar oleh angel. Setelah Evangelion, gue menjajal Ski VR. Gue belum pernah main ski seumur hidup gue dan selalu jatuh ke tebing karena ngga bisa ngebedain tebing dan turunan. FYI, Ski VR ini membuat gue motion sickness banget. Beres-beres pusing kepala gue. Yang terakhir ini agak tricky. Setelah gue pikir matang-matang, akhirnya gue putuskan untuk menjajal wahana Gundam VR. I just like mechs, can’t help it. Skema permainannya adalah pertarungan di luar angkasa antara kubu escort yang mengamankan battleship sampai tujuan atau penyerang yang menyerang battleship agar tidak sampai tujuan. It was really fun.

Ribet dan relatif mahal memang, tapi layanannya memang apik: Setiap pengunjung diberi alas untuk google-nya agar tetap bersih dan diberikan pengarahan yang cukup di setiap wahana.

Kiri atas: VR Zone Shinjuku! Kiri Bawah: Mbak-mbak VR Zone menjelaskan cara bermain ski VR. Tengah: Mariokart VR. Ini wahana paling fun yang gue coba disana. Kanan atas: Evangelion VR. Kurang panjang euuy belum puaaasss. Kanan bawah: Gundam VR. Samaaa kurang panjaang belum puaaaas.

Beres dari VR Zone, waktu sudah malam dan kita sudah sangat capek. Mempertimbangkan besok kita perlu bangun sepagi mungkin untuk mengejar Shinkansen ke Kyoto, kita memutuskan untuk jalan ke stasiun metro terdekat di Shinjuku untuk pulang ke hotel dan beristirahat.

Di perjalanan pulang kita sempat mampir dulu ke Family Mart untuk beli onigiri dan makanan siap saji lain agar besok pagi bisa sarapan dulu di hotel sebelum berangkat ke Tokyo Station.

Kiri: Suasana malam Shinjuku. Kanan: Makanan siap saji yang kita beli di Family Mart untuk sarapan besok.

Daily Recap

 

Tokyo
Smile Hotel Tokyo
Imperial Palace East Garden
Shibuya Crossing
Supreme @ Shibuya
Harajuku (probably)
VR Zone @ Shinjuku

Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae

Bermalam di Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae Tokyo

Imperial Palace East Garden Tokyo

Taman timur istana kekaisaran yang super besar banget.

Shibuya Crossing

Belum afdol ke Tokyo kalo belum ikut nyebrang jalan disini LOL

Supreme @ Shibuya

Hypebeast euy, hypebeast

Harajuku

Gue ngga 100% yakin bahwa kita nyampe daerah harajuku tbh, but it looks like it.

VR Zone @ Shibuya

Kesampean juga nyobain VR yang oke.

Day 4

Shinkansen Experience, Kyoto, & Fushimi Inari

Hari ketiga. Kita bangun sepagi mungkin (lagi) karena hari ini kita harus bergegas pergi ke Tokyo Station untuk mengejar Shinkansen (kereta super cepat) menuju Kyoto jam 7 pagi.

Ada beberapa alasan mengapa kita menggunakan pergi ke Kyoto menggunakan Shinkansen. Pertama, dari review yang kita baca Kyoto memiliki suasana yang jauh berbeda dengan Tokyo. Kedua, kita sangat ingin mencoba Shinkansen. Perjalanan Tokyo – Kyoto menggunakan kereta biasa bisa 6 – 7 jam. Menggunakan Shinkansen? Sekitar 3 jam. We heard about it thousand times. Now we have a chance to actuall try it.

Kita keluar dari hotel sebelum matahari terbit. Jarak antara hotel ke Tokyo Station sekitar 500 meter dan suasana jalan masih agak gelap dan sepi sekali. Begitu kita tiba ke Tokyo Station, it’s a different beast. Tempat ini besar sekali dan sepertinya selalu ramai. Pengguna kereta sudah berjalan berlalu lalang dengan frekuensi yang sangat cepat. Tokyo Station menjulang keatas dan dalam kebawah: beberapa lantai ke bawah tanah untuk metro, dan beberapa lantai ke atas untuk kereta. Platform untuk Shinkansen ada di lantai paling atas.

Kita datang sedikit lebih awal sehingga ada cukup waktu untuk ngemil onigiri dan melihat-lihat suasana platform paling atas dimana Shinkansen berhenti dan berangkat. Tempatnya terlihat berumur tapi sangat terawat dengan baik.

Kiri atas: signage di platform kereta. Semua yang butuh signage, ada signage-nya. Kiri bawah: kedai kudapan tersedia di banyak tempat, reasonably placed. Kanan: The Shinkansen has arrived!

Beberapa waktu setelah kita mulai menunggu, Shinkansen rute Shin-Osaka yang melewati Kyoto yang akan kita naiki tiba. Kita naik, meletakkan koper di area yang ditentukan, duduk, dan menikmati perjalanan kita. Gerbong Shinkansen ini terlihat sangat lega, relatif mewah, dan sangat terawat. Yang paling gue kaget itu toilet-nya. Ada dua toilet di setiap gerbong. Yang pertama besarnya standar saja, yang kedua besar banget. Perjalanan Tokyo – Kyoto memakan waktu sekitar tiga jam. Gue tertidur di setengah perjalanan. It was a smooth ride. A really smooth ride.

Kiri: koper besar yang tidak muat kompartemen diatas kursi diletakkan di belakang kursi paling belakang gerbong. Kanan atas: Suasana di dalam gerbong Shinkansen. Kanan bawah: tempat duduk gerbong Shinkansen.

Kyoto

The traditional vibe of Japan

Gue dan Nzi tiba di stasiun Kyoto sekitar jam 10:30. Begitu keluar dan Kyoto Station, kita langsung menyadari suasana Kyoto yang sangat berbeda dengan Tokyo. Tokyo dipenuhi gedung-gedung tinggi dan dipadati oleh orang-orang yang bergerak dengan cepat ke segala arah. Di Kyoto suasananya sangat berbeda: gedung-gedung tinggi tidak sepadat Tokyo, suasananya pun terlihat lebih lenggang dan santai. Jalanan terlihat lebih lenggang dan lu bisa temui rumah dan bangunan-bangunan yang nampak agak tua.

Kyoto is no longer Japan’s capital after all.

Kita menginap di Hotel Seiki Kyoto Station yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari Kyoto Station. Hotel-nya bergaya tradisional menggunakan futon, namun masih memberikan TV dan kamar mandi di dalam selayaknya hotel biasa (kita sempat mau nginep di Ryokan tapi kebanyakan Ryokan dengan harga terjangkau kamar mandi-nya di luar). Harganya sangat terjangkau karena gaya manajemennya yang mirip guest house: front office-nya tidak 24 jam namun cukup helpful. Karena kita datang lebih awal (kebanyakan check in hotel di Jepang baru dimulai pukul 15:00 sepengetahuan gue) jadi kita datang ke hotel untuk sekedar menitipkan koper untuk nanti check in kembali.

Kiri atas: jalanan kota Kyoto. Kiri Bawah: hotel semi-tradisional di Seiki Hotel Kyoto Station. Kanan paling atas: Toko kelontong di sekitar hotel. Kanan tengah atas: bangunan dengan arsitektur tradisional di dekat hotel. Kanan tengah bawah: Kyoto Station. Kanan paling bawah: Kei Car berlalu lalang di jalanan Kyoto

Fushimi Inari Taisha

The thousand gates shrines

Beres menitipkan koper di hotel, kita bergegas berangkat menuju tujuan pertama kita hari itu: Kuil Fushimi Inari-Taisha yang dikenal dengan ribuan torii-nya (gerbang tradisional Jepang yang sering ditimukan di kuil-kuil). Fushimi-Inari ini merupakan salah satu destinasi utama wisata di Kyoto. Sejak pertama kali memutuskan untuk berangkat ke Kyoto, Fushimi Inari Taisha merupakan salah satu tempat yang langsung masuk ke itenerary kita.

It was indeed a place worth visiting.

Omong-omong, ada cerita menarik saat berangkat menuju Fushimi Inari-Taisha. Saat keluar dari Hotel dan mencari rute perjalanan, Google map menunjukan jaraknya yang tidak terlalu jauh dari hotel, hanya beberapa ratus meter saja di samping Aeon Mall. Kita cukup heran namun berjalan saja menuju arah yang dituju. Begitu sampai di tujuan, ternyata lokasi yang dituju bukan kuil Fushimi Inari-Taisha melainkan “Fushimi Inari Taisha Otabisho“. Jadilah ini kesasar pertama kita selama di Jepang.

Fushimi Inari Taisha Otabisho. Notice the additional “Otabisho” LOL

Begitu menyadari bahwa kita nyasar, kita segera mencari rute menuju Fushimi Inari-Taisha yang kita maksud. Setelah ditimbang-timbang, kita akhirnya memilih menggunakan taksi alih-alih kereta karena stasiun kereta terdekat masih agak jauh dan kaki-kaki sudah pegal-pegal padahal kita masih akan jalan kaki jauh sekali. Kalau memaksakan diri jalan terus sesampainya di tujuan kecapean dan tidak bisa menikmati tujuan kan tidak lucu ya.

Akhirnya kita mencari taksi di luar kuil dan melaju ke Fushimi Inari Taisha. Yang mengejutkan: ternyata harga taksi di Kyoto relatif lebih murah daripada di Tokyo.

Taksi menurukan kita di gerbang samping Fushimi Inari Taisha yang dipenuhi toko dan penjaja makanan. Begitu turun, perut sudah lapar sekali jadi kita jajan takoyaki dan tofu steak terlebih dahulu. Beres makan, kita melanjutkan perjalanan dan mulai terkesima. Fushimi Inari Taisha is indeed as pretty as the its photographs.

Kiri atas: gerbang samping Fushimi Inari Taisha. Kiri tengah: denah kompleks Fushimi Inari Taisha. Kanan atas: Salah satu kuil utama di area bawah. Kiri bawah: sekumpulan torii di jalan antara kuil bawah dan kuil di puncak bukit. Kanan bawahdefinitely more toriis.

Kita mencoba naik menuju puncak bukit mengikuti jalur Torii yang tersedia. Satu jam berjalan keatas, ini kok ngga sampai-sampai ya :laugh:. Kita bertanya ke orang yang sudah sampai ke atas dan sedang di perjalanan turun dan mereka bilang perjalanan masih jauh keatas (belakangan gue cek di wikipedia memang butuh kurang lebih 2 jam untuk naik-nya saja). setelah dipertimbangkan, kita akhirnya cukup senang dengan berjalan sejauh ini dan memutuskan untuk berjalan turun menuju destinasi selanjutnya.

Jalan-jalan di Kyoto

Some days didn’t go as we planned, but it was okay

Gue dan Nzi memiliki beberapa tujuan selain Fushimi Inari Taisha yang sudah kita siapkan di itenerary kita. Namun hari itu sepertinya rencana perjalanan kita tidak bisa di-eksekusi secara maksimal. Dari Fushimi Inari Taisha kita berjalan-jalan ke daerah Gion untuk melihat-lihat dan makan siang di Halal Ramen Gion Naritaya namun ternyata tempatnya masih tutup meskipun review di Google Map menunjukkan bahwa tempatnya sudah buka.

Dari daerah Gion, kita memutuskan untuk pulang ke Hotel untuk check-in, istirahat, dan makan di restoran dekat hotel. Ada restoran kari yang sudah buka dan terlihat menarik.

Beres makan, waktu sudah lebih dari pukul 3 sore dan Nzi kurang enak badan dan keletihan sehingga memutuskan untuk istirahat saja di hotel. Truth to be told, kita sepertinya tidak mengira bahwa kita akan berjalan kaki sebanyak ini di Jepang. Gyroscope menunjukkan bahwa jumlah jalan kaki yang kita lakukan selama dua hari kebelakang merupakan dua hari dengan jumlah langkah paling intens selama tahun 2017. Setelah dipertimbangkan, daripada memaksakan diri jalan hari ini dan sakit, lebih baik istirahat agar besok bisa fit lagi.

Sementara Nzi istirahat di hotel, gue jalan-jalan keluar di sekitar Kyoto Station.

Kiri atas: berbeda dengan Tokyo, bangunan-bangunanan di Kyoto cenderung tradisional dan tidak menjulang tinggi. Kiri tengah: salah satu restoran fancy yang kita temui di sekitar Gion. Kanan: Salah satu sudut kota Kyoto. Kiri bawahKyoto Station saat matahari terbenam. Burung gagak terbang dalam formasi menyambut malam.

Omong-omong, saat di Kyoto ini cuacanya dingin sekali dan kamera Sony α6000 gue makin lama makin susah di-nyala-matiin-nya (tombol on/off-nya berbentuk kenob yang diputar sedikit). Lama kelamaan, kenob-nya benar-benar tidak bisa diputar, seperti ada yang beku dan mengeras di dalam. Karena kejadian ini, sampai pulang ke Indonesia kita hanya mengambil gambar menggunakan pocket camera RX100 dan kamera iPhone saja. Lucunya, begitu tiba di Indonesia, kenob-nya normal kembali. Kedinginan dan tidak weather resistance sepertinya.

Lesson learned.

PERMASALAHAN. (Zoom in – Zoom out ala-ala Sinetron)

Daily Recap

 Tokyo
Smile Hotel Tokyo
Tokyo Station

Kyoto
Kyoto Station
Hotel Seiki Kyoto Station
Fushimi Inari Taisha Otabisho
Fushimi Inari Taisha
Gion Area

Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae

Bermalam di Smile Hotel Nihombashi Mitsukoshimae Tokyo

Tokyo Station

Stasiun kereta utama kota Tokyo

Kyoto Station

Stasiun utama kota Kyoto

Hotel Seiki Kyoto Station

Hotel yang sangat affordable dan sangat dekat dari Kyoto Station

Fushimi Inari Taisha Otabisho

Nyasar ke kuil ini karena namanya sama dan hanya beda belakangnya saja

Fushimi Inari Taisha

Kuil dengan seribu torii

Gion Area

Jalan-jalan daerah Gion berharap dapet makan tapi tempatnya tutup LOL

Day 5

Osaka, The Museum of Housing and Living, Dōtonbori, Shinsaibashi, dan Kyoto Station Terrace

Hari keempat. Kita bangun pagi-pagi sekali dan merasa lebih baik dari pegal-pegal dan letih di hari kemarin. Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan rencana hari ini, Gue dan Nzi akhirnya setuju untuk bertandang ke Osaka menggunakan kereta seperti yang sebelumnya sudah kita rencanakan.

Jarak Kyoto ke Osaka tidak terlalu jauh: kurang dari satu jam menggunakan kereta biasa dan jauh lebih cepat lagi jika menggunakan Shinkansen. Sayangnya, kita tidak mendapati jadwal Shinkansen saat kita tiba di Kyoto Station

Yang paling memungkinkan adalah menggunakan kereta biasa bersama dengan penduduk Kyoto yang commuting ke Osaka. So that’s what we do. “Kereta biasa”-nya pun sangat nyaman. Tidak ada reserved seat dan penumpang yang tidak mendapatkan kursi bisa berdiri di koridor gerbong. Kurang lebih seperti kereta yang kita gunakan di hari pertama saat menuju Odaiba.

Sesampainya di Osaka, gue bersyukur kita memutuskan untuk pergi ke Osaka. Osaka memiliki suasana yang berbeda dibandingan dengan Tokyo dan Kyoto. Dari yang gue lihat, Tokyo terasa seperti ibukota metropolitan super sibuk dan hip sementara Kyoto terasa santai dengan akar budaya tradisional yang kuat. Sementara itu, keramaian dan suasana Osaka terasa seperti kota perdagangan yang sangat ramai.

Kiri: kereta dari Kyoto menuju Osaka. Kanan: suasana platform bawah Osaka City Station. Stasiun-nya besar sekali.

Osaka Museum of Housing and Living

Replika rumah dan perkampungan tradisional Jepang

Tujuan pertama kita hari itu adalah Osaka Museum of Housing and Living dimana museum ini menunjukkan rumah dan kehidupan tradisional jepang dan isinya dengan skala 1:1. Setiap kali jalan-jalan ke luar negeri, museum selalu nyempil di itenerary kita karena gue selalu penasaran dengan semenarik apa museum di luar negeri.

They’re pretty awesome actually.

Perjalanan dari Osaka Station ke Osaka Museum of Housing and Living ditempuh dengan naik kereta Osaka Loop Line dari Osaka Station dan turun di Temma Station, dilanjutkan dengan berjalan kaki agak lama di jalan panjang ber-atap mirip bazaar yang entah apa namanya. Rasanya seperti bazaar yang sangat panjaaaang.

Kiri: Entah apa namanya daerah ini. Bentuknya jalanan beratap seperti bazaar yang super panjang. Kanan: Ketika gue bilang super panjang, memang begitu adanya. Panjaaaang sekali

Osaka Museum of Housing and Living berada di ujung jalan ini. Saat tiba di depan gedung, kita sempat bingung: Kita sudah sampai di lokasi dan ada banner-nya namun kok museum-nya tidak kelihatan ya? Ternyata museum-nya berlokasi di lantai paling atas gedung; di depan gedung ada mbak-mbak sigap yang menyadari turis yang kebingungan mencari lokasi dan menunjukkan jalan menuju lift. So into the building we go.

Saat tiba di tujuan, ternyata gue sedikit over-estimate; gue kira besar tempatnya akan sebesar satu RT berisi rumah-rumah tradisional Jepang, namun ternyata besar-nya hanya seukuran lima atau enam rumah saja di dalam dome besar. Meski begitu, rumah-rumah tradisional yang dipertunjukkan tetap menarik. Rasanya seperti rumah-rumah yang gue liat di anime Samurai X. Terlebih lagi, pencahayaan dome-nya melakukan simulasi rekayasa suasana malam, siang, dan saat hujan lebat di sertai petir.

Kiri atas: banner dari Osaka Museum of Housing and LivingKanan atas: Tiket masuk. Kiri tengah: salah satu “gang” di replika perumahan tradisional Jepang. Kiri bawah: miniatur perumahan Jepang tempo dulu. Kanan tengah: salah satu “jalan” di area replika perumahan tradisional Jepang. Kanan bawah: salah satu isi replika rumah tradisional Jepang

Dōtonbori

Area hiburan ikonik di Osaka

Beres dari museum, kita menuju ke tujuan kita berikutnya di Osaka: Dōtonbori. Dōtonbori merupakan kawasan hiburan dan perbelanjaan di samping kanal Dōtonbori-gawa yang merupakan salah satu ikon kota Osaka. Dōtonbori dipenuhi oleh restoran, pertokoan, dan kawasan hiburan. Suasana modern, 90an, dan tradisional bercampur baur menjadi satu.

Suasana kawasan hiburan yang kita rasakan di Dōtonbori Osaka ini berbeda dengan suasana kawasan hiburan yang kita rasakan di Tokyo seperti Shinjuku. Di Tokyo kawasan hiburannya terasa canggih dan metropolis dengan gedung-gedung tinggi dan pengunjung yang fashionable. Di Osaka kawasan hiburannya terasa lebih rapat: gedung-gedungnya tidak sesebombastis dan semasif Tokyo dan banyak area tersusun dari jalan kecil yang panjang dan simetris. Satu hal lagi yang membuat suasana di Osaka berbeda dengan Tokyo: banyak lorong kawasan perbelanjaan memiliki atap jadi terasa seperti bazaar super panjang (seperti yang kita temui di jalan menuju Osaka Museum of Housing and Living). Bayangkan lorong bazar sepanjang 1 kilometer (atau bahkan lebih). Nah seperti itu rasanya.

Selagi di Dōtonbori, kita melakukan beberapa hal:

    Sightseeing

    Jalan-jalan di sepanjang kawasan perbelanjaan Dōtonbori. Suasananya sangat menyenangkan untuk jalan-jalan. Banyak hal menarik juga di sepanjang jalan.

    Nemu Tempat Shalat

    Kita menemukan prayer room (mushalla) di lantai 6 (IIRC) Shinsaibashi mall dan shalat disana. Di Jepang agak sulit mencari tempat shalat, jadi begitu ketemu alhamdulillah banget. Anyway, prayer room disini tidak menyediakan tempat wudhu jadi bawa botol / tempat air sendiri untuk wudhu.

    Makan!

    Kita berencana makan di Tsuki No Odori (halal-certified restaurant) tapi ternyata ada yang nge-book restorannya untuk hari itu, jadilah kita makan di Naritaya Osaka (halal-certified juga sih). Pesan moral-nya: kalo mau makan di restoran tertentu di waktu tertentu di tempat tujuan, telepon dulu akan sangat membantu (ini kali kedua kita punya tempat makan yang dituju dan ternyata ngga available). Public information yang ada di Google ternyata kadang tidak akurat karena hal-hal yang tidak terprediksi seperti ini.

    Satu hal lagi yang membuat suasana di Osaka berbeda dengan Tokyo: banyak lorong kawasan perbelanjaan memiliki atap jadi terasa seperti bazaar super panjang

    Kiri atas: Gerbang masuk Dotonbori area. Kiri tengah: Salah satu lorong super panjang di daerah Dotonbori. Kanan atas: salah satu kanal di area Dotonbori. Kanan bawah: Salah satu gang di Osaka. Di Osaka ini banyak sekali gang kecil tapi panjang dan berjejer seperti ini. Kiri bawah: Kedai Naritaya. Kanan bawah: Makanan di Naritaya. Aroma cengkehnya kuat banget!

    Beres makan di Naritaya, kita bertolak ke Osaka Station menggunakan Taksi karena hari sudah gelap dan kita sudah terlalu pegal untuk berjalan ke stasiun metro terdekat. Seperti yang kita alami di Kyoto, ternyata tarif taksi di Osaka tidak semahal di Tokyo.

    Sesampainya di Osaka Station, tidak ada shinkansen menuju Kyoto yang tersedia jadi kita menggunakan kereta biasa lagi. Yang berbeda, ternyata saat kita tiba di stasiun sedang waktu rush hour jadi stasiunnya terlihat lebih ramai dari tadi pagi. Yang menarik, meskipun sedang rush hour seperti ini, saat menunggu kereta datang di platform, orang-orang tetap membuat antrian dan mengantri lalu masuk kereta dengan tertib. I really love this part of Japan.

    Kiri: Osaka Station City. Kanan: Rush hour, Osaka Style

    Kyoto Station’s Happy Terrace

    Kyoto Station’s other gem

    Kemarin saat tiba di Kyoto, gue baru sadar bahwa bagian atas dari Kyoto Station memiliki teras berundak-undak berhama Happy Terrace yang merupakan spot yang lumayan populer. Jadi sesampainya kita tiba di Kyoto Station setelah menaiki kereta selama 30 menit-an dari Osaka, kita tidak langsung jalan ke Hotel. Kita naik ke bagian atas dari Kyoto Station menuju Kyoto Station’s Happy Terrace.

    Kyoto Station Happy Terrace ini pada dasarnya merupakan area publik berupa teras di atap Kyoto Station ditambah tangga (yang dihiasi dengan lampu yang berpendar memainkan animasi yang bisa dilihat dari sudut tertentu) yang tinggi sekali. Gue tidak tahu berapa persis tinggi-nya, tapi di sisi kanan dari teras disediakan elevator untuk tiba sampai ke area paling atas. Untuk kesana, gue perlu naik kurang lebih tujuh elevator.

    Dari Happy Terrace, lu bisa lihat pemandangan kota Kyoto membentang. It was a quite beautiful scenery.

    Kiri ata: Kyoto Station’s Happy terrace nampak dari bawah (hall). Kanan atas: Kyoto Station’s Happy Terrace dari ujung bawah tangga-nya. Kanan tengah: Kyoto Station dilihat dari Happy Terrace. Kiri bawah: pemandangan malam kota Kyoto dari Happy TerraceKanan bawah: Kyoto Station dari kedai Mr. Donut tempat kita berhenti sejenak untuk ngopi-ngopi

    Di area Happy Terrace, baik di ujung atas dan di ujung bawahnya, tersedia banyak cafe dan restoran. Kita memutuskan untuk duduk-duduk dan makan di Mister Donut sebelum akhirnya pulang ke hotel dan istirahat. Besok, kita akan pulang ke Indonesia.

    Daily Recap

    Kyoto
    Hotel Seiki Kyoto Station
    Kyoto Station (Happy Terrace)

    Osaka
    Osaka City Station
    Museum of Housing & Living
    Dotonbori
    Shinsaibashi
    Naritaya

    Hotel Seiki Kyoto Station

    Hotel yang sangat affordable dan sangat dekat dari Kyoto Station

    Kyoto Station

    Stasiun utama kota Kyoto

    Osaka City Station

    Stasiun utama kota Osaka

    Museum of Housing and Living Osaka

    Museum yang menunjukkan rumah dan cara hidup tradisional Jepang

    Dotonbori

    Area perbelanjaan dan hiburan populer di Osaka

    Shinsaibashi

    Masih daerah perbelanjaan di Osaka

    Naritaya Osaka

    Tempat makan di Osaka. Halal certified.

    Day 6

    The departure day

    Hari terakhir di Jepang merupakan perjalanan penuh dari Kyoto ke Tokyo dan lalu ke Indonesia. Setelah kita teliti kembali, sebenarnya akan lebih efisien jika kita menggunakan penerbangan dari airport terdekat. Namun tiket untuk pulang sudah ter-booking dari Narita ke Soekarno-Hatta, so that’s one good lesson I learned on this trip.

    Kita bertolak ke Kyoto Station relatif pagi. Dari Kyoto Station, kita berangkat ke Tokyo Station menggunakan Shinkansen persis seperti bagaimana kita berangkat. Setibanya di Tokyo Station, gue menyadari bahwa stasiun ini jauh lebih ramai daripada terakhir kita disini dan gue baru sadar bahwa waktu itu liburan natal sudah mendekat. Tokyo Station sangat-sangat padat hari itu. Bisa dilihat dari antrian toilet wanita yang mengular sampai luar.

    Di Tokyo Station, kita menyempatkan diri untuk makan siang dulu sebelum naik kereta cepat menuju Narita. Masih ada waktu cukup dari check-in hingga boarding, jadi kita shalat dan jajan-jajan dulu. Penerbangan kita berangkat sekitar pukul 7 malam. Gue agak kesulitan tidur di perjalanan pulang dan nonton dua film sampai habis.

     

    Waiting for Shinkansen to arrive

    We just left the country and we already miss it. As I write this, It’s been more than three months since I returned to Indonesia and every time I remember the trip, I always want to come back to Japan.

    Jalan-jalan ke Jepang ngga cukup sekali. What a country.

    Kiri atas: makan siang terakhir di Jepang. Nasi kari ikan!  Kanan atas: boarding announcement board di Narita. Kanan bawah: multi-faith praying room di Bandara Narita. Kiri bawah: terbang pulang, menggunakan JAL

    Daily Recap

    Kyoto
    Hotel Seiki Kyoto Station
    Kyoto Station

    Tokyo
    Tokyo Station
    Narita Int’l Airport

    Jakarta
    Soekarno-Hatta Airport

    Hotel Seiki Kyoto Station

    Hotel tempat kita menginap di Kyoto

    Kyoto Station

    Stasiun utama kota Kyoto

    Tokyo Station

    Stasiun utama kota Tokyo

    Narita International Airport

    Tiba di Narita sekitar pukul 4 sore.

    Soekarno Hatta Airport

    Berangkat dari Soekarno-Hatta Airport Indonesia jam 7 pagi

    Anyway, kita mempublikasikan vlog mengenai perjalanan ke Jepang ini juga di YouTube. Untuk pengalaman lebih serta visualisasi dari semua yang sudah kita tulis diatas, silahkan tonton:

    Japan Trip 2017 / End

    Words

    Fikri Rasyid

    Photos & Videos

    Fikri Rasyid & Rizkiya Fauziyah

    Cameras

    Sony α6000, Sony RX100, iPhone 6S, & iPhone 7