Seiring dengan gegap gempita pilpres, hasil quickcount, stasiun televisi lokal yang dlabeli tv pemilu, berbagai tv shows politik tiada henti, social media berbasis politik, berbagai berita politik yang kian deras mengalir, saya menemukan diri saya tertegun dengan berbagai pertanyaan:
Kenapa sih semua orang mengagungkan demokrasi?
Bahkan seingat saya, salah satu alasan Bush menyerang irak adalah for the sake of democracy: demi menegakkan demokrasi. Lalu ada lagi satu hal yang menimbukan pertanyaan di kepala saya: para pengamat politik yang dengan bangganya menyatakan fakta bahwa negeri kita adalah negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Sebentar dulu.
Sebenarnya, what’s the point of democracy? Apa sih yang menjadikan konsep para filosof Yunani ini sedemikian agungnya, bahkan menjadi justifikasi seorang pemimpin meng-invasi bangsa lain? Satu konsep yang sedemikian diagung-agungkan dan di elu-elukan seperti ini:
“kita, bangsa yang berdemokrasi”
“kita sedang berada di dalam tahap pendewasaan demokrasi”
“pendemokrasian indonesia”
Penting untuk anda ketahui, saya bukanlah aktifis kiri, kanan, golongan hitam, putih, atau apapun itu. Saya hanya seorang warga negara yang kritis dan mencoba mengkritisi sesuatu di sekitar saya, dalam proses pendewasaan saya.
Yang menjadi pertanyaan saya sebenarnya sederhana: Apa sih esensi dari demokrasi? Kekuasaan berada di tangan rakyat? Itu makna etimologisnya. Yang saya lihat, demokrasi hanya satu konsep yang aplikasnya adalah pemilihan umum. Voting. Satu hal yang membuat saya agak resah: pemimpin dipilih bukan berdasarkan kemampuan yang sebenarnya, namun dipilih berdasarkan kemampuannya meraih simpati publik. Pendominasian mayoritas atas minoritas.
Saya jadi teringat salah satu status facebook seseorang yang saya baca beberapa hari yang lalu. kurang lebih isinya begini:
Dalam demokrasi, 1 suara cendikiawan yang memahami kapasitas calon pemimpin = 1 suara rakyat yang sudah “tertipu” oleh media.
Pertanyaan retorisnya, mana yang lebih banyak: cendikiawan yang paham kapasitas calon pemimpinnya atau rakyat yang terpengaruhi oleh media?
Ini yang membuat saya merasa ada yang janggal dengan demokrasi.
Apakah demokrasi adalah sistem kekuasaan terbaik yang sepatutnya di aplikasikan? Atau ada sistem lain yang lebih baik?
Maaf sebelumnya jika pertanyaan ini terlihat dangkal menurut anda. Politik bukan domain saya. Mari berbagi pencerahan melalui kolom komentar.
P.S.
Ini benar-benar pencarian pencerahan. Saya benar-benar no offense dan tidak berniat untuk menyinggung pihak manapun. Punten dan mohon maaf jika ada yang merasa kurang berkenan. Politik ini topik yang sensitif sih.
Untuk yang berkomentar, punten yang sesuai dengan topik, sopan dan tidak bertele-tele y. Yang tidak memenuhi kriteria diatas punten saya moderasi. Thanks π
Ada kesalahan di kalimat terakhir
Pilitik ini topik yang sensitif sih.
politik kok jadi pilitik??
@Dinda Watson
Haha, salah ketik itu. Thanks udah mengingatkan π
di UUD NRI tahun 1945, dijelaskan bahwa cara yang paling demokratis adalah dengan melakukan pemilihan umum
menurut lw ada ga cara lain selain pemilihan langsung?
mau pake sistem electoral college kaya amerika?
sama aja dong balik ke jaman sebelum amandemen UUD 1945
dimana akan tercipta konspirasi yang lebih besar
*kalo ngomongin pemilihan presiden ya*
pemilihan umum bukan hanya sekedar sistem voting, terdapat mekanisme tertentu didalamnya, yang akan membatasi jumlah peserta yang akan bermain dalam arena politik
sebagai contoh, terpilihnya presiden indonesia harus lah lebih dari 50% dan merata diseluruh indonesia (min 2/3 kalo ga salah)
*silahkan dilihat UUD NRI tahun 1945 dan UU yang terkait*
perlu digarisbawahi, sebagian besar masyarakat indonesia tidak mengeyam pendidikan yang cukup
wajar mereka memilih seseorang karena kepopuleran, karena “nilai jual” yang ditawarkan
kita ga punya media yang cukup untuk mengeksplore calon-calon kita lebih dalam
makanya ya jadi kaya ga jelas gitu kan kampanye mereka
representation in ideas bisa terjadi saat semua masyarakat indonesia menjadi kritis
makanya ini adalah hal yang lumrah terjadi dalam political representation
oleh karena itu kita sebagai generasi yang mengenyam pendidikan yang tinggi perlu memberikan pencerdasan pada masyarakat
bukan hanya diam dan mengeluh kenapa begini, kenapa begitu
pertanyaan paling penting, sudahkan anda memberikan pencerdasan politik pada orang-orang disekitar anda? π
Saya menikmati nuansa kritis tulisan ini, Fikri.
Democracy is not the best system, but the prevailing of the current age.
I believe that meritocracy is the best political system.
@Oma
nah itu dia, karena mayoritas penduduk kita masih belum berpendidikan, maka mereka memilih pemimpin berdasarkan image. Maka dari itu, pemimpin terpilih sudah tentu pemimpin yang berimage, dan image tidak sama dengan kualitas. That’s the problem.
memberikan pencerdasan politik pada orang-orang disekitar anda?
This is how i do it. Through blogging my thought π
@Eki
Thank you Sir. It’s an honor for me π
Although it’s prevailing this current age, but still we should move to the best system, i think.
Meritocracy? Hmm.. i personally have a couple thought in Theocracy, instead.
blogging is not enough, or never enough
ga semua orang baca blog lw
ga semua orang bisa ngenet
anyway, gw jadi kepikiran something
kenapa band lw ga menciptakan lagu yang liriknya tu tentang keadaan sosial?
bosen lah cinta-cintaan terus
udah banyak gitu
musik kan lebih universal, bisa didengarkan siapa aja
iya ga?
Aku tidak berbicara demokrasi disini.. tapi pengen komentar tentang media dan image
aku kurang setuju dengan pernyataan: “tertipu” media. (Berpihak pada media nih ceritanya. He3)
Justru medialah yang berusaha memberi pendidikan politik bagi rakyat (yang seharusnya dilakukan juga sama parpol. Tapi parpol lebih sering mengabaikan ini).
Media lah yang menjadi salah satu pihak yang kritis mengawasi pemerintahan, selain oposisi tentunya..
Dan media punya ‘kode etik’ untuk berpihak pada rakyat.
Soal image..
Image itu penting banget fikri..
Kalau dia punya kualitas, tapi dia ga bisa menunjukkan, membuktikan, dan mengkomunikasikan kompetensinya ke hadapan publik, bagaimana orang-orang akan tahu..?
Dan image itu bukan berarti menutupi kualitas sebenarnya.. justru, kalau seseorang mampu membangun image yang baik, paling tidak itu berarti dia mempunyai kemampuan komunikasi yang bagus, dan mampu membangun kredibilitas dan kepercayaan rakyat..
@oma
i like your point. tapi faktanya adalah, there’s noting in this world which able to fulfill everyone’s needs. Either blogging or anything else.
Tidak ada satu hal/media pun yang bisa memuaskan semua orang kan? Memang betul tidak semua orang ngenet. Tidak semua orang juga membaca koran. Tidak semua orang menonoton TV, dan tidak semua orang mendengarkan lagu. So point pentingnya adalah: JUST DO IT! Mulai dari yang berada dalam jangkauan kita (dalam kasus gue, blogging) dan mulai memperlebar jangkauan! π
Tapi poin membuat lagu tentang kondisi sosial juga oke. Salah satu influencer gue adalah RATM. i’ve consider it too. To me blogging is similar to songwriting. blog = song. It’s a media. If i write about social-stuffs in my blog, so do i in my song π
Poin penting lagi: lagu memang universal, tapi lagu bertema sosial tidak se-dengar-able *halah* lagu yang bertema you-know-what kan? π
@Sinta
wording “tertipu” itu untuk menekankan dan memposisikan saja sih. efek dramatis lah π
IMHO, memang idealnya media menjadi “peng-koreksi” pemerintahan y. Tapi bukankah itu masih terlalu utopis untuk terjadi di negara kita? π
idealnya pula, media berpihak pada rakyat. But mainstream media is still a business. Mana yang lebih mereka berpihak-kan. Rakyat atau customer? Pembaca atau dewan redaksi, pemegang saham, pengiklan, atau “pihak2 dengan kemampuan menekan yang tinggi”? π
Image itu memang sangat penting. Tidak pernah saya me-nafikan kepentingan image. Tapi image bagus belum tentu kualitas bagus kan? Bisa saja seseorang berkualitas biasa namun ber-image bagus karena meng-hire Public Relation consultant yang handal, bukan karena kemampuannya berkomunikasi dan menciptakan opini publik π
Huaa.. *terjungkal mode on*
Fikri pinter banget ih..
Hehe..
Iya… memang banyak pihak yang punya kepentingan terhadap media. Dan tentu sangat tidak mudah untuk mengakomodasi semuanya. Ga mungkin lah media netral 100%. Setiap media punya ideologi yang mewarnainya..
Btw, pernah loh, ada pembaca Kompas yang ngasih kritik, menurutnya Kompas keseringan masang iklan SBY. Kan ‘dosa’ klo media berpihak ke salah satu capres. Padahal itu kan ‘iklan biasa’ ya..
hehehe
Pengiklan jadi salah satu pihak yang besar tekanannya..
Makanya, Fikri sebagai blogger harusnya bisa bikin blog ini sebagai media independen dimana “tidak ada pihak-pihak yang menekan” π
klo soal citra.. aku baru baca nih, tulisan dosen ku di PR,
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=84134
Ga ada bantahan deh, untuk pendapat Fikri soal kerjaan PR handal itu..
Bener banget..
π
@Sinta
Thanks. π
Itulah mengapa jargon “new media” yang diakomodir oleh berbagai social media (seperti blog, microblog, dll) menjadi sangat menarik dimata saya, meskipun tetap masih menyisakan berbagai “celah” untuk di “susupi” sih π
Dan old media seperti media mainstream sekarang masih memegang peran yang masih sangat kuat di tataran masyarakat kita π