Pekan lalu gue beruntung bisa membaca Zero to One. Pekan ini gue beruntung bisa membaca satu buku yang banyak beberapa tahun kebelakang sering dibahas di tech industry: The Lean Startup, oleh Eric Ries.

The Lean Startup membahas mengenai metodologi saintifik dalam mengembangkan “startup”. Sebelum membahas lebih jauh mengenai metode “lean startup”, Eric terlebih dahulu mendefinisikan “startup” sebagai:

Institusi yang didesain untuk membuat produk atau layanan baru dibawah kondisi ketidakpastian yang ekstrim.

Dengan definisi ini, “startup” bisa berarti:

  1. Perusahaan rintisan yang dinahkodai oleh “entrepreneur”
  2. Divisi baru dalam perusahaan yang berusaha membuat breakthrough innovation yang dinahkodai oleh “intrapreneur”
  3. Semua institusi yang berusaha menciptakan “produk” atau “layanan” dibawah kondisi ketidakpastian yang ekstrip. NGO, non-profit, dll.

1. Dapat vs Harus

Premis utama dari Lean Startup Methodology adalah:

Pertanyaan besar pada era kita bukan “apakah ini bisa dibuat?” melainkan “haruskah ini dibuat?” dan “dapatkah kita membuat bisnis yang berkelanjutan melalui produk dan layanan ini?” ?

Hal ini berdampak terhadap cara menilai produktifitas dalam startup. Umumnya, produktifitas dinilai melalui berapa banyak hal yang diproduksi. Memproduksi banyak hal yang pada akhirnya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar merupakan tiket cepat menuju kegagalan. Dalam lean startup methodology, produktifitas dinilai melalui berapa banyak validated learning yang dihasilkan melalui usaha yang dilakukan.

Dengan kata lain: untuk menjawab “haruskah”, setiap asumsi atas fitur/produk/layanan yang akan dikembangkan perlu dites dan divalidasi.

2. Validated Learning

Validated learning dilakukan melalui pengulangan pola Build-Measure-Learn:

build-measure-learn-feedback-loop

  1. Build dimulai dari ide yang pada dasarnya merupakan asumsi. Lean startup methodology sangat menekankan untuk selalu melakukan validasi atas asumsi yang merupakan poin dari validated learning. Dari ide, proses Build dilakukan yang akan menghasilkan produk.
  2. Produk kemudian digunakan oleh actual customer untuk kemudian diukur (Measure). Dari pengukuran ini didapatkan data.
  3. Data dari proses sebelumnya digunakan untuk proses Learn yang berfungsi untuk memvalidasi asumsi yang dijadikan landasan Build pada langkah pertama. Dari proses learn ini akan didapatkan ide dan kesimpulan apakah ide yang digunakan pada langkah pertama valid atau tidak. Dari ide yang dihasilkan ini, kembali pada proses Build selanjutnya, dan seterusnya.

Produktifitas dalam Lean startup methodology dinilai berdasarkan validated learning yang dihasilkan melalui proses Build-Measure-Learn diatas. Setiap ide merupakan asumsi dan setiap asumsi harus divalidasi. Hal ini akan membantu menjawab premis utama yang telah disebutkan sebelumya:

Bukan “dapatkah kita membuat fitur/produk/layanan ini?” namun “haruskah kita membuat fitur/produk/layanan ini?”

Atau dengan kata lain: memastikan bahwa apa yang dikembangkan merupakan sesuatu yang sustainable dan tepat secara product/market fit.

3. Hipotesis Yang Jelas

Agar suatu ide/asumsi dapat divalidasi melalui validated learning, ide tersebut harus memiliki hipotesis yang jelas mengenai apa yang akan dilakukan dan hasil apa yang diharapkan terjadi. Dua test akan asumsi yang paling penting perlu untuk dibuat oleh seorang entrepreneur adalah value hypothesis dan growth hypothesis

  1. Value Hypothesis
    Apakah produk ini memberikan value terhadap konsumen sehingga konsumen akan menggunakannya?
  2. Growth Hypothesis
    Apakah konsumen akan “menemukan” produk ini? Apakah informasi mengenai produk ini akan menyebar dari para early adopter menuju adopsi massal?

4. Genchi Gembutsu

Lean startup methodology sangat mendorong apa yang dalam konsep lean manufacturing disebut dengan Genchi Gembutsu atau yang kerap ditranslasikan menjadi:

Keluar dan lihat langsung

Angka dan metrik dapat menceritakan suatu kondisi. Namun harus selalu diingat bahwa metrik tersebut merupakan hasil dari perilaku manusia selaku individu. Perlaku individu ini dapat diukur dan berubah. Untuk mengetahuinya, get out of the building dan berinteraksilah dengan konsumen secara langsung.

5. Pengukuran yang tepat

Pengukuran akan menjadi sia-sia jika hal yang diukurnya tidak tepat. Kasus yang sering terjadi dalam startup adalah penggunaan vanity metrics atau metrik yang terlihat megah dan memberikan perasaan nyaman namun sebenarnya tidak membantu dalam membuat keputusan. Bagi startup, pengukuran yang disarankan adalah innovation accounting melalui cohort analysis.

Innovation accounting mengukur satu titik awal, dan hasil setelah satu eksperimen dilakukan. Jadi akan terlihat hasil dari suatu eksperimen. Cohort adalah satu titik dimana pelanggan berinteraksi dengan produk secara independen seperti registrasi (pelanggan mendaftar), aktivasi (pelanggan menggunakan produk), retention (pelanggan bertahan menggunakan produk), dan referral (pelanggan mereferensikan produk ke calon pengguna lain).

6. Tahapan dalam Lean Startup Methodology

Tahapan dalam Lean Startup Methodology dapat dijabarkan sebagai:

  1. Define
    Definisikan dengan jelas asumsi dan hipotesis dari ide fitur/produk/layanan. Kejelasan hipotesis penting untuk mengukur apakah ide ini berhasil atau tidak berhasil nantinya.
  2. Experiment
    Buat versi Minimum Viable Product (MVP) dari ide yang telah didefinisikan. MVP adalah versi paling minimal dari ide yang telah di-define yang ditujukan dan dapat diterima oleh early adopters, bukan konsumen umum.
  3. Test
    Lakukan pegetesan dari MVP yang telah dibuat kepada early adopters. Tujuan dari MVP ini untuk mengetahui apakah benar produk yang dibuat memang memiliki product/market fit atau tidak. Ingat premis utama dari Lean Startup Methodology.
  4. Measure
    Lakukan pengukuran dari test yang dilakukan. Hindari jebakan vanity metrics dan fokus kepada innovation accounting.
  5. Pivot or Persevere
    Jika hasil pengukuran innovation accounting setelah beberapa kali pengulangan Build-Measure-Learn menunjukan data yang tidak menjanjikan, saatnya tentukan apakah perlu untuk pivot (berganti arah/fokus) atau persevere tetap pada fokus awal.

***

7. Akselerasi pertumbuhan

Proses Build-Measure-Learn tidak akan berhenti setelah menemukan titik pivot and persevere. Kenyataannya, seringkali startup yang sudah mencapai kesuksesan massal perlu men-distrupt ulang dirinya, seperti Apple yang men-distrupt lini produk iPod-nya dengan iPhone, agar tetap relevan dan menghindari innovator’s dillema. Dalam mengakselerasi pertumbuhan, Lean Startup Methodology menyarankan langkah-langkah ini:

7.1. The Power of Small Batch

Alih-alih menggunakan pola pikir large batch yang kerap digunakan dalam assembly line manufacturing massal, Lean Startup Methodology menyarankan penggunaan small batch yang lebih rapat. Implementasinya kurang lebih begini:

7.1.1. Large batch

Large batch dapat ditunjukan melalui contoh berikut:

  1. Desainer membuat 30 desain interface. Begitu selesai, ketiga puluh desain ini diberikan kepada tim engineer.
  2. Engineer mengembangkan aplikasi berdasarkan 30 desain yang dibuat.

Pertanyaannya, apa yang terjadi jika dalam implementasi desain ke 4 atau 5, ditemukan beberapa masalah terhadap desain yang diberikan? Jika langkah pertama memakan waktu satu pekan, kesalahan ini baru ditemukan satu pekan ditambah total waktu yang dibutuhkan hingga engineer tiba ke implementasi desain ke 4 atau 5.

7.1.2. Small batch

Small batch dapat ditunjukan melalui contoh berikut:

  1. Desainer membuat 1 desain interface dan langsung diberikan kepada tim engineer. Sementara itu, kembali melanjutkan ke screen berikutnya
  2. Engineer membuat implementasi berdasarkan desain yang diberikan. Begitu menemukan kejanggalan yang perlu direvisi, engineer dapat langsung berkolaborasi dengan desainer untuk melakukan revisi.

Feedback loop-nya menjadi lebih intens dan kesalahan yang perlu direvisi akan semakin cepat ditemukan.

7.2. Menguasai mesin pertumbuhan yang cocok

Pada dasarnya, pertumbuhan yang sustainable memiliki karakter yang sederhana: pelanggan baru datang dari aksi yang dilakukan oleh pelanggan sebelumnya, bukan dari PR stunt yang bersifat temporer. Hal ini dapat dicapai melalui:

  1. Word of mouth
  2. Efek samping dari penggunaan produk yang memuaskan pelanggan
  3. Iklan berbayar
  4. Repeat purchase

Ada tiga jenis “mesin pertumbuhan” yang perlu diketahui:

7.2.1. The Sticky Engine of Growth

Pertumbuhan berasal dari retention rate yang tinggi. Hal ini berlaku untuk produk-produk yang akan sulit untuk diganti sekali sudah memilih opsi. Contoh: perangkat lunak databse untuk level enterprise.

Aturannya: jika angka pertumbuhan pelanggan lebih tinggi dari pelanggan yang meninggalkan produk, pelanggan dari produk tersebut akan tumbuh. Semakin besar dan positif selisih ini, semakin cepat pertumbuhannya.

7.2.2. The Viral Engine of Growth

Pertumbuhan produk diakibatkan oleh kesadaran akan produk yang menyebar secara epidemik dari satu orang ke orang lain. Hal ini berbeda dengan word of mouth karena penyebaran kesadaran akan produk ini merupakan konsekuensi dari penggunaan produk. Contoh: kasus pertumbuhan hotmail melalui “Get your free e-mail at hotmail” di footer email yang membuat kesadaran akan produk Hotmail bertambah setiap kali penggunanya mengirimkan email kemanapun.

Aturannya: viral coeficient atau berapa banyak pelanggan baru yang “dibawa” oleh pelanggan sekarang.

7.2.3. The Paid Engine of Growth

Penggunaan effort berbayar untuk mendapatkan konsumen. Contoh: penggunaan adwords untuk mendatangkan calon pengguna.

Aturannya: proportion revenue yang merupakan selisih antara biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisi pelanggan dan customer lifetime value yang dihasilkan. Semakin besar proportion revenue-nya semakin cepat pertumbuhannya.

7.3. Menciptakan organisasi yang adaptif

Menciptakan organisasi yang adaptif melalui training yang tepat (meskipun membutuhkan cost di-awal) agar dapat tumbuh seiring dengan pertumbuhan startup merupakan investasi yang pantas dilakukan. Dalam peribahasa Toyota, hal ini disebut melalui anekdot paradoks yang berbunyi:

Hentikan produksi agar produksi tidak perlu berhenti

***

Seperti yang gue pernah bahas sebelumnya: poin-poin ini gue coba rangkum sebaik mungkin, namun untuk pemahaman yang lebih menyeluruh, gue rekomendasikan untuk membaca bukunya. Gue pribadi merasa ada beberapa konsep yang kurang menyeluruh jika hanya membaca poin-poin diatas dan tidak membaca bukunya.

Omong-omong, untuk rekan-rekan yang lebih menguasai mengenai metode Lean Startup, sharing, masukan, tambahan, atau revisi-nya sangat gue nantikan di kolom komentar 😀

Notes

Terima kasih untuk Pak Alzipco, employer gue di Hijapedia dan arahannya untuk membaca buku ini XD