Kembali negara tentangga kita meng-klaim hasil budaya indonesia sebagai budaya mereka. Masyarakat mengamuk. Protes dimana-mana. Pemerintah didesak untuk menggugat. Ranah maya dibanjiri kata-kata makian. Bahkan salah satu forum hingga disorot media massa karena mencaci lagu kebangsaan.
Gerah sekali.
Di ranah maya, gesekan dengan negara tetangga ini sudah bukan barang baru. Anda semua pasti tahu. Namun semenjak isu klaim ini meluas, gesekan jenis ini menjadi semakin memanas. Di jaringan facebook saya, entah ada berapa status (dan juga notes) yang membahas hal ini. Dari pendapat kritis hingga makian. Dari saran hingga hujatan (meskipun lebih banyak hujatan sih, you-know-it). Itu baru di facebook. Belum di twitter, plurk, dll.
Pendapat saya mengenai kasus ini
Jangan menggeneralisir
Saya tidak tertarik untuk ikut-ikutan memaki negara tetangga kita. Coba renungi: di Indonesia banyak koruptor kan? Apakah karena sekelompok orang Indonesia korupsi lantas semua rakyat Indonesia layak di-labeli koruptor? Apakah anda mau dilabeli sebagai koruptor karena segelintir orang yang melakukan korupsi padahal anda tidak melakukannya? Yang melakukan klaim itu segelintir orang, jangan merendahkan pendapat anda tentang bangsa sebelah serendah segelintir orang tersebut. Digeneralisir itu sangat menyebalkan. Anda akan tahu jika anda pernah mengalaminya.
Apa yang telah lakukan untuk budaya-budaya tersebut?
Saya merasa tidak layak untuk marah-marah. Jujur saja, jika pertanyaan “apa yang sudah saya lakukan untuk budaya tersebut?” dialamatkan pada saya, i have no idea how i could answer that. Ketika isu seperti ini terbakar, semua orang marah. Tapi tanpa isu seperti ini, apakah anda akan perduli terhadap budaya bangsa?
Taktik lama: Devide et impera
Saya merasa Malaysia dan Indonesia hanya bidak. Isu ini hanya skenario. Ketika warga Indonesia dan warga Malaysia bersengketa, ada segelintir orang yang tertawa. Meskipun pihak yang tertawa ini masih belum terbanyang siapa. Coba perhatikan isu yang akhir-akhir bergantian ini di-blow up oleh media massa: mulai dari manohara yang mulai meningkatkan sentimen terhadap negeri sebrang, Bom 17 Juni yang didalangi teroris berkebangsaan tetangga, klaim kebudayaan, dan penjualan pulau. Rentang waktu antar isu nya terasa sistematis: setelah isu yang satu pudar, isu yang lain di-blow up.
Ingat pelajaran sejarah di sekolah menengah, bagaimana bangsa ini bisa dijajah selama 350 tahun? Penjajah kita dulu itu negaranya kecil, tapi orangnya cerdas: ciptakan isu, adu domba dua pihak pribumi yang memiliki kepentingannya masing. Keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali, masa’ manusia mau?
Semua kesalahan dilakukan dengan pemikiran bahwa kesalahan tersebut benar
Solusinya?
Orang orang sukses berfokus pada solusi, sementara orang orang gagal berfokus pada permasalahan.
-wise words, anonymous-
Semua hal terjadi karena ada penyebabnya. Di luar segala poin yang saya sebutkan diatas, bangsa lain berani meng-klaim hasil budaya kita pun pasti ada alasannya. Saya teringat kata-kata ini:
Fokus pada yang brada di dalam kontrol anda. Berfokus pada apa yang di luar kontrol anda tidak menghasilkan apa-apa.
Tidak perlu letih memikirkan faktor eksternal seperti etika antarbangsa dll yang berada di luar kontrol kita. Pikirkan faktor internal yang masih berada di dalam kontrol kita.
Jika anda perduli, jangan memaki. Tapi lestarikan apa yang anda pedulikan. Lakukan sesuatu untuk itu. Semua yang berada di dalam kontrol anda, sekecil apapun itu.
Itu pendapat saya ya. Bagaimana pendapat anda?
P.S.
Silahkan menyuarakan pendapat anda. Berbeda pendapat tidak masalah, tapi gunakan bahasa yang santun. Bahasa yang tidak santun akan dimoderasi tanpa ampun.
Kalau anda membahas tentang issu ini dan sudut pandang anda mengenainya di blog anda, share linknya via comment y 🙂 Saya menemukan post senada mengenai hal ini:
- Growing up in a growing up country.. oleh Pandji
- Cuek ajeee.. oleh Pandji
- Benar itu relatif, baik itu mutlak oleh Pandji (lagi)
- Selamatkan mereka oleh Pandji (well, again 😛 )
stuju fik ..
nampaknya generalisir sudah jadi kebiasaan di negeri ini
contohnya kata seorang Ruby Master yg sy kenal, ketika ia ngerjain proyek di Malasyia. programmer di sana ramah dan baek kok. orang2 non programnmer yg ia kenal juga gak “jahat” seperti yg dipikirkan kebanyakan orang Indonesia. (catatan : ini bukan promosi ruby loh … haha)
mungkin orang bisa saja ngomong itu khan cuma kebetulan. tp ceuk sy itu bukan kebetulan. ketika orang mencari hp, maka yang akan banyak yang ia lihat adalah tukang hp, ketika orang mencari makanan, maka yang akan banyak yang ia lihat adalah tukang makanan. ketika orang mencari orang yg jahat seperti yg ada di sinetron – sinetron, maka ….. (terusin aja sendiri)
komentar ini sy tutup quote dari ente :
“Di generalisir itu sangat menyebalkan. Anda akan tahu jika anda pernah mengalaminya.” ==> sy pernah mengalaminya, jd sangat sangat sangat mengerti apa yang ente maksud.
@byakugie
sudah kecanduan ruby mah promosi terus uy 😀
yep. say no to generalisasi. Teman-teman saya juga banyak yang berkebangsaan Malaysia and they are nice people.
Jadi inget, aktor Miller pernah dikejar-kejar wartawan cuma buat dimintai pendapatnya tentang konflik Malaysia-Indonesia.
Dia menghindar, ga bersedia diwawancara.
Aku jadi kasihan.
Dia pasti jadi ga nyaman kan.
Serba salah lah. Malaysia adalah negaranya, tapi Indonesia kan ladang rezekinya..
Kalau pendapat aku sih..
Jujur, aku ga banyak diterpa media massa beberapa hari ini. Sekalinya baca di koran, cuma bisa istigfar.
Mau berbuat sesuatu.. ga tahu apa yang bisa aku kerjakan.
jadi ya, cuma bisa diem, ga ngapa-ngapain.
Ga boleh memaki ya?
Padahal aku pikir kalau memaki tuh berarti “keren euy.. cinta banget sama Indonesia..”
Tapi aku ga ikutan maki-maki.
Males aja. Hehe
Oh ya, mungkin ini pertanyaan bodoh ya, tapi aku beneran ga begitu ngerti,
sejauh mana sih pengaruh klaim Malaysia itu terhadap Indonesia?
Apa keuntungan Malaysia mengaku-ngaku sebagai pemilik beberapa budaya Indonesia?
Untuk menarik wisatawan kah?
kalau ya, apakah cara itu efektif?
Ambil hikmahnya aja lah..
Menurut aku sihh.. nanggepin masalah mengenai pengklaiman gak usah pake marah2 segala. justru dengan kejadian kayak gini bisa menyadarkan kita bahwa dibalik keterpurukan bangsa kita, ternyata kita memiliki leluhur dan masyarakat yang memiliki daya kreativitas yang tinggi. buktinya aja, banyak hasil kreasi dan seni kita yang di klaim oleh mereka.
selaen itu, coba deh liat sekali lagi buku sejarah tentang bagaimana bangsa kita meraih kemerdekaan. kemerdekaan sejati guys yang kita dapatkan melalui hasil perjuangan.
nah,,, bandingin dengan malaysia,, apa sih arti kemerdekaan sejati bagi mereka??? kalo mereka ngerti, gak mungkin mereka ngedapetin kemerdekaan buat bangsanya dengan cara mengemis kemerdekaan dari pemerintahan inggris….
kita, sebagai generasi muda nih… hantam malaysia dengan daya kreativitas yang kita miliki…cintai n jaga budaya kita,, kalo masih di klaim lagi…,tu nunjukin kalo mereka tu bener2 parah..mungkin, urat malu dah gak punya kalee..
Bagus, terutama bagian akhir tentang Divide et Impera, tapi nyaris tidak ada perspektif baru dalam tulisan ini. Saya ada mengutip satu kutipan BESAR mengenai isu ini dari tulisan Dr. Aris Arif Mundayat dua hari yang lalu yang mungkin bisa lebih mencerahkan.
Dan saya agak tercengang dengan ini:
Mudah-mudahan hanya kesilafan karena lelah atau hal lain. Bukan sengaja atau tidak tahu. 🙂
Satu lagi, saya tidak keberatan Malaysia berbagi sebagian produk budaya kita karena memang kita satu bangsa (Melayu-Nusantara). Tapi jika ia menggunanya (menggunakannya) untuk kepentingan komersial, tentu itu tidak etis.
overall,,saya juga sangat tidak setuju dengan penyamarataan tersebut. saya mempunyai ramai teman indonesia dan kami tidak pernah membangkitkan isu-isu tersebut. we have a very good relationship.
apalagi jika isu-isu yang dibangkitkan ini hanya untuk meng-adu-domba kan negara kita yang memang mungkin menurut pihak itu sangat sesuai untuk di-adu-domba-kan. dan apabila perpecahan itu berhasil, pihak tersebut yang mendapatkan keuntungan. kedua-dua negara akan terlihat sangat pathetic.
kenapa masalah budaya yang diperebutkan ya? padahal kita tau bahwa tidak aneh jika kita mempunyai budaya yang sama karna memang dari dulu indonesia dan malaysia adalah satu, hingga dibilang serumpun.
first of all, saya memang salute pada sikap kalian yang berpikiran terbuka mengenai isu budaya ini, tidak melenting atau meletakkan kesalahfahaman pada sebelah pihak sahaja, dan itu amatlah dikira adil sekali. kerana apa? kerana yang berlaku ini mesti ada punca dan asbabnya yang sampai sekarang masih mencari persoalan permasalahan. saya kira kita bukanlah akan berterusan mencari/memikirkan permasalahan namun kita seharusnya mencari titik penyelesaian yang adil bagi kedua2 pihak.ya, saya orang Malaysia, namun saya masih ramai lagi kawan2 Indonesia yang baik2 serta kami saling menjalankan diskusi tanpa salah faham, dimana sensitiviti bersama itu harus dijaga,
semoga Malaysia-Indonesia akan tetap bekerjasama. hindari dari sebarang malapetaka yang boleh merosakkan hubungan baik yang terjalin setelah sekian beribu2 tahun lampau, Amin
@All
Thanks untuk komentarnya, maaf baru sekarang bisa memberi respons 🙂
@Pak Eki
Wah, saya baru sadar kalau saya menulis seperti itu. Terima kasih untuk masukkannya Pak. Ketika sedang enak-enak menulis (terutama jika tengah dibatasi waktu), terkadang masalah sambungan dan kata depan sering terlupakan. 😛
Hmm.. apa masalahnya dengan penggunaan secara komersial? Saya hampir bingung menentukan sikap mengenai masalah ini, karena secara pribadi pun saya (dan kebanyakan orang pun, for sure) agak careless dengan issu budaya. Ketika ada masalah seperti baru deh semuanya tersadar.
Ini seperti ada seonggok lahan di samping rumah. Milik kita, tapi tidak kita gunakan tapi tetangga sebelah memanfaatkannya untuk mensejahterakan lebih banyak orang sekaligus menguntungkan dirinya.
@Izad & Azna
Saya rasa, ini ulah yellow journalism. Pemberitaan yang baik adalah kabar yang buruk kan?
@Indyra
Aplikasi nyatanya dengan cara apa? Kalau kamu sudah melakukan apa saja dan akan melakukan apa saja?
@Sinta
That’s a question. A good one.