Smart Parents, Smarter Generation

by | Aug 13, 2013 | Essays | 2 comments

Kemarin pas ngejemur-jemur pakaian di rumah gue keingetan salah satu momen paling wow dari lebaran kali ini: gue baru tau kalo sepupu gue nge-homeschooling-in anaknya. Alasannya? Anaknya berkebutuhan spesial: belajarnya cepet, pede banget, tapi cepat bosannya (attention span-nya pendek. lebih dari setengah jam, pembelajaran jadi tidak efektif). Jadi kalau di kelas, dia paling cepat selesai dan begitu selesai lanjut ngegangguin teman-temannya. Tiba-tiba gue kepikiran:

Sepertinya model ruang kelas tidak didesain untuk menampung “anak yang spesial” ya?

Dengan pertimbangan diatas, sepupu gue meng-homeschooling-kan anaknya. keputusan yang sangat berani mengingat menyelenggarakan pendidikan untuk anak itu ngga mudah dan gue sangat salut sekali kepada mereka. Gue pribadi jadi kepikiran beberapa pertanyaan: referensi mereka dalam menyelenggarakan homeschooling dari mana saja ya? Materi pembelajarannya dapat dari mana saja ya? Kembali ke momen ngejemur-jemur pakaian, gue jadi teringat hingar bingar beberapa tech startup yang (katanya) mau merevolusi edukasi belakangan ini. Sepengetahuan gue, kebanyakan tech startup ini menyasar institusi pendidikan atau si anak langsung sebagai target marketnya. Mendadak gue jadi kepikiran:

Kenapa gue belum nemu tech startup atau institusi apapun itu yang tujuannya mencerdaskan orang tua siswa untuk kemudian mencerdaskan anaknya ya?

Alasannya sederhana: Bukannya pendidikan pertama anak itu ada di orang tua? Secanggih apapun sekolah, tetap saja karakter anak itu ditempa oleh orang tua. Orang tua yang cerdas, melek finansial, melek intelektual, melek spiritual, melek pedagogis, seharusnya akan mendidik anaknya dengan baik. Premisnya:

Smart parents, logically, will make a smarter generation.

What do you think?

P.S.:

Tulisan ini pun sebenarnya hypothetical banget karena gue pribadi belum jadi orang tua.

2 Comments

  1. AMYunus

    Repeat, recommendation, and risk
    Kebanyakan orang tua memiliki pemikiran berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Mereka yang sudah pernah bersekolah ‘biasa’ akan lebih banyak merekomendasikan anak mereka bersekolah ‘biasa’ juga. Karena mereka sudah tahu ‘it just works!’ pada mereka.

    Pilihan yang lain mungkin ada, tapi mereka butuh rekomendasi dari orang ‘terpercaya’ untuk memberikan sesuatu yang kurang mereka ketahui pada anak mereka.

    Mungkin berdasarkan itulah, startup lebih banyak menyasar porsi kue yang lebih besar/lebih umum. Porsi tersebut juga memiliki risiko yang lebih kecil daripada porsi lainnya.

    Young parents as market
    Anyway mungkin bisa dilakukan hal tersebut dengan menyasar young parents. Karena mereka biasanya early adopter terhadap sesuatu. Lebih mudah menerima sesuatu yang baru.

    Tapi nih, biasanya nih, young parents ini akan dapat social pressure dari orang tua mereka dan tetangga sekitar. Kok cara pendidikannya beda? Kok gak gini? Kok gak gitu? Emangnya bisa? Kalau gagal? Yes, they need reasons to stand their opinion.

    Pardon for my lacks of data and facts. Comments above are my thoughts.

    • Fikri Rasyid

      Gue setuju dengan poin-poin lu yun. IMO, yang gue maksud dengan “smart parents” itu ngga harus se-ekstrim ngga sekolah konvensional dan homeschooling penuh kok. Yang gue pikirkan, dengan rasio jumlah murid dan jumlah guru yang ada, sekolah konvensional itu hampir pasti keteteran dan ngga bisa mengajarkan semua yang penting untuk diajarkan. Bolong-bolongnya itu, IMO + seharusnya, orang tua lah yang melengkapi.