Jika semuanya berjalan lancar, tahun ini merupakan tahun terakhir saya menempuh pendidikan sarjana. Beres semester ini, tinggal PLP dan merampungkan skripsi, lalu bertogalah saya.
*amin*
Seperti yang sudah saya duga, ibu yang notabene seorang dosen sudah mulai bertanya: “mau lanjut S2 apa, A?”
Saya terdiam. Pertanyaan “kalau udah lulus lu mau ngelanjutin kemana” adalah salah satu pertanyaan yang paling sering saya obrolkan dengan teman-teman. Di benak saya, melanjutkan S2 bermakna menunda jalan menuju kemapanan finansial selama (paling cepat) 2 tahun lagi. Saya program S1 Pendidikan Bahasa Inggris sekarang saja fokus saya lebih ke WordPress theme development yang notabene mayoritas job freelance saya. Sudah menghasilkan, meskipun belum terlalu stabil. Well untuk standar fresh graduate sih sudah lumayan banget, bukan lumayan aja.
****
Hari ini, saya berkecimpung di dunia IT / software development yang ‘relatif bisa dipelajari’ secara otodidak. Alternatif saya terhadap opsi S2 sederhana: jika jumlah waktu 10,000 jam adalah jumlah minimal waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ‘kelas dunia’ dalam menguasai suatu keahlian di suatu bidang (Gladwell, 2008), alokasikan saja 10,000 jam dalam waktu dua tahun ini untuk ‘menguasai’ bidang tersebut. Ada banyak sekali topik yang menarik minat saya hari ini: belajar lagi web programming, memperdalam front end web development, bisnis, app (iOS / OSX) development, UI design, memperdalam WordPress theme development, menulis, menulis fiksi, bisnis, you name it. Benamkan waktu dan dana yang setara dengan yang harus dikucurkan untuk merampungkan gelar S2 untuk menjadi sangat ahli di bidang IT yang applicable di dunia nyata. Tanpa distraksi ‘harus beresin tugas kampus‘ seperti yang saya alami selama perkuliahan S1. Hmmm…sounds like a plan.
Masih berpikir-pikir nih. Masih ada satu semester – satu tahun (Insya Allah, jika semuanya sangaat lancar) hingga wisuda sarjana.
Apa pendapatmu?
Kata kata orang tua, yang penting komitmen.
Saya juga belum S2. Takut tugas kuliah :)). Jangan ditiru.
Kalau mau ngambil S2 kira2 mau ngambil apa ton? π
Jiaaah, ngga pake S2 juga sampai ke negeri sakura XD
Kalo menurut gue, it’s about passion.
S2 itu biasanya ( biasanya nih) lebih diarahkan menjadi seorang akademisi atau researcher, memperbanyak publikasi di jurnal, conference, anyelse dan proyek penelitian ini itu. And ya tergantung aja sih, apakah cocok menjadi seorang researcher atau akademisi ? Kalo gue sih nggak cocok. Jadi ya gitu deh, hehe. Good luck, Fik π
Thanks buat masukannya Nus π Kalo ngakademisi *bahasa apa pula ini* gue ngerasa kurang berhadapan dengan masalah nyata yang real saat itu juga. Selalu serasa ada sekatnya.
lanjut di minat saja π
good luck
insyaAllah awal tahun depan saya juga lulus, lulus sejenak tapinya, masih ada rangkaian panjang lainnya menuju dokter π
Wah, kalau dokter mah koas dulu, macem2 dulu π
Thanks ya π
Agak senada dengan bung Amyunus. Mungkin S2 pilihan mutlak kalo mau terjun ke akademik/peneliti atau setidaknya kita sebut saja jadi dosen. Nah kalo emang tujuannya hanya mencapai level “kelas dunia” tadi mending investasi di kelas 10.000 jam saja.
*komen sok iye pdhal kita sama2 bingung bung!* π
Kebingungan anak2 ITHB jurusan Tubagus nih :))
Iya, sekarang sih lebih berat di 10,000 jam π
Yup klo sudah tak bingung soal ini lagi maka sudah siap untuk kebingungan soal ‘Kapan nikah?”.
*kabur*
Eyaaaa pertanyaan itu keluar juga :))
Haduh..
ini topiknya mirip sama keadaan gw sekarang, belum lulus S1 tapi ortu sudah tanyakan S2 kemana. Padahal sekarang aja fokus sudah bukan ke skripsi ..
dilemma.. *galau*
Haha, masalah kebanyakan mahasiswa tingkat akhir sepertinya ya π
Problem yang umum dialami bagi developer yang masih kuliah. Kalau menurut saya mending ambil 10.000 jam itu. Tapi biasanya kalau udah keasyikan, minta melanjutkan studi bakalan hilang. Apalagi kalau udah dapet income yang gede.
Saya justru kepikirannya kalau income sudah besar dan sifat-nya passive / bisa ditinggal, saatnya melanjutkan studi. Jadi motif-nya studi ini benar2 hobi / mencari ilmu, bukan ‘bekal’ untuk mencari kerja π
setuju kang, ‘sekolah formal’ pada dasarnya adalah untuk urusan formal juga seperti identitas (KTP) dan ‘agama’. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah ‘sekolah non formal’. Usaha (baca bisnis) yang sudah akang lakukan juga merupakan sekolah. Kita akan tetap sekolah seumur hidup kita. Idealnya sih, dua-duanya dijalanin karena “tidak ada satupun kebaikan yang sia-sia” semua pasti ada manfaatnya.
Dengan sekolah formal, akang akan ketemu juga dengan orang-orang yang masuk sekolah dengan berbagai motivasi dan berlatar belakang berbeda-beda juga. Maaf tidak bermaksud menggurui.
Memang βtidak ada satupun kebaikan yang sia-siaβ sih, tapi waktu kan terbatas. You can’t do all of them at once π
Lebih baik 10.000 jam otodidak saja mas Fikri. Investasi waktu menurut saya sangat menyenangkan dan mungkin akan lebih baik. π
yep, sounds like a plan ya, saya juga sekarang mah lebih condong kesini π
Kamu gimana rencananya? I see a talent in you, you know π
Tahun ini, mungkin mau rilis beberapa theme wordpress. Karena, you know, i really love WP. Sama kayak has Fikri. π
Walaupun kuliah ‘sedikit’ terbengkalai karena terlalu banyak menginvestasikan waktu dengan produk buatan om Matt ini.
Doakan ya!
Ini kok kayanya OOT y XD
Anyhow, sok atuh diulik. I see awesome talent in you π
I’ve read this post a while back, dan belum sempet nulis respon π You know what Fik, this writing of yours really got me thinking. Gue sampe ngebahas sama temen2 gue yang sama2 masih engga ada tujuan hidup mau S2 atau pulang ke Indonesia dan kerja. In fact, di Eropa, ternyata gelar itu masih penting banget maknanya. Kayanya kalo di Indonesia S1 juga masih besar harapan dapet kerjaan layak. Kalo disini ternyata sulit. Tapi menurut gue sih balik lagi pertanyaannya: tujuan lo (gue, kita) apa? Kalo di bidang macam kita ini sih sepertinya skill+jam terbang jauh lebih penting dari pada gelar. 10,000 jam yang akan dihabiskan untuk research dan nulis thesis mending dipake untuk nambah skill dan jam terbang, ya nggak sih? π
Really, got me thinking. Still thinking until now :))
Walah, nice to hear that feb :)) It got me thinking too, makanya gue tulis. So far gue lebih berat ke 10,000 jam sih. Gue lebih nangkep ada giant hole yang nangkring saat ini dimana pendidikan itu lebih utama kita pake buat ‘modal kerja’ instead of mencerdaskan diri kita sendiri.
Iya banget, kalo bidangnya web / creative, lebih baik dipake untuk nambah skill n jam terbang sih gue pikir. π
10.000 jam otodidak,
spy lebih mantap, istikharah…
Sounds like an option π
If i were you, I’d chose 10,000 hours of intensive self-development.
And this advise comes from senior lecturer. Hmmm, it makes me really into this option now.
Dalam persepsi benak orangtua kita, S2 adalah langkah atau upaya utk memperoleh jabatan yang lebih tinggi, atau mendapat kesempatan kerja yg lebih baik.
Kebanyakan orangtua tidak tahu kalo yang namanya istitusi akademis itu lebih dari 60% ilmu yang diajarkan hanya bersifat akademis (utk dikritisi, utk didiskusikan, utk diperdebatkan, utk diteliti, tapi tidak utk dipraktekkan).
CMIIW.
Lalu apa dong yang harus dilakukan untuk “memperoleh jabatan yang lebih tinggi, atau mendapat kesempatan kerja yg lebih baik.” ? π