Saya tidak suka khotbah. Preaching. Ketika saya menghadiri suatu kelas atau acara yang metode-nya khutbah, kecuali si pemateri mampu menyampaikan isi khutbahnya dengan cara yang sangat menggugah, saya akan kesulitan mengarahkan diri saya untuk memperhatikan. Lebih parah lagi ketika khotbah atau preaching ini dilakukan untuk tujuan mengingatkan atau melarang-larang. Meh.
Beda halnya jika saya dicontohkan. Diperlihatkan. Diceritakan. Diberitahu dengan tindakan bahwa begini loh, yang membuat kamu bahagia itu. Begini loh, berdasarkan pengalaman yang sudah saya alami, caranya yang lebih efisien. Diajak berbicara. Berdiskusi. Tidak dipandang sebagai objek yang kerjaannya yang penting nurut saja, manut. Dipandang sebagai manusia seutuhnya. Dipahami. Diajak berbicara. Diberi kesempatan.
Jangan berharap dengan mengkhutbahi seseorang, seseorang tersebut akan langsung mengerti. Tidak ada sesuatu yang instan langsung jadi. Mie instan saja perlu diseduh beberapa menit untuk bisa disantap.
Setuju. Yang paling efektif memang melalui tindakan nyata. Kalau khotbah, kesannya: “Ah, situ cuma bisa ngomong wae”:)
Nah, eta pisan.
Wah, punya preferensi sendiri ya. Kalo saya sendiri, khutbah yang saya sukai itu mengingatkan. Diingatkan kembali bahwa poin itu penting loh. Dan mungkin saja saat itu terlupa. 😀
Btw out of topic nih tentang bahasa. Bukannya yang bener mie instant atau mi instan ya ? Kalo mie instan itu campuran dari bahasa Inggris Indonesia. ya nggak sih ? ❓
Ya tidak semua khutbah menyebalkan sih. Jika penyampaiannya tepat, dan menarik ya jadi asik juga. Hanya saja, ya kebanyakan kalau khutbah itu tidak menarik penyampaiannya. Lebih mudah dicerna contoh. There’s an integrity on it.
Wah, kurang paham juga sih, perlu cek KBBI. Tapi setahu saya mie itu bukan bahasa Inggris deh. Dan mie instant pun saya yakin bukan bahasa inggris karena dalam bahasa inggris polanya harus kata sifat + kata benda, bukan kata benda + kata sifat. If it is english, it should be “instant noodle” then. CMIIW.
weits, betul juga yah mas, tapi setidaknya yang ngekhutbah ada niat mau berbagi atau memperingati kan.? hehhe.
Sampai kapan mau “setidaknya ada”? Kapan mau dilakukan dengan efektif?
presentasi dan bukti/hasil tujuan positif biasanya akan lebih mudah masuk dan mempertajam visi sang pembicara di pikiran audiens. adalah naif jika berpikir informasi masih bisa efektif jika dilakukan satu arah. web aja udah bisa bikin orang berdiskusi. jadi harusnya kita bisa lebih terbuka mengenai informasi, menyingkirkan ego untuk murni berkontribusi.
Prakteknya seperti apa?