Hari itu siang. kombinasi terik – berawan menghiasi langit sebagaimana hari – hari pancaroba pada umumnya. Sengatan matahari, hembusan angin siang, tetes keringat yang mengucur sebagai upaya sekresi sistem pengeluaran manusia adalah tiga hal yang dapat kuingat kala itu.

Kulkangkahkan kakiku menuju university centre kampus yang baru saja selesai di bangun. Khusus hari ini, mata kuliah Bahasa Indonesia yang kuikuti tidak diadakan di kelas seperti biasa. Entah apa yang ada dalam benak dosen ku kala itu. Penyegaran? Pergantian suasana? Lari dari ruang 8 X 10 M yang setiap hari ditemuinya? entahlah. Apapun alasannya, yang ada di kepalaku hanya instruksi kaku seperti yang dikatakan seorang kapten pada anak buahnya di tengah latihan militer : Segera tuju university centre! Tidak perlu menghabiskan protein untuk membuat neuron otak bekerja mencari alasan mengapa aku melangkahkan kakiku. Segera tuju university centre! titik.

Sesampainya di university centre, duduk sekitar 10 menit di lobby bangunan yang baru berdiri dan belum rampung selesai itu, lalu aku dan rekan – rekan se-mata kuliah bahasa indonesia digiring ( penghalusan? dari diarahkan. atau sebaliknya? ) menuju areal parkir Gedung University Centre. Hmm, ternyata alasan mengapa kelas kami tidak dilakukan dalam ruang 8 X 10 M seperti biasa adalah Dosen kami, mengundang seorang rekannya yang seorang sastrawan yang tengah mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif untuk menunjukan secara langsung, secara live, secara tatap mata, dan secara – secara lain yang tepat untuk mendeskripsikan ” melihat langsung dengan mata kepala sendiri” proses penyajian suatu karya seni bernama Pembacaan Puisi.

Lima menit setelah dosenku memberikan pengarahan mengenai apa-mengapa-dimana dan pertanyaan kasual bergaya 5W + 1 H jurnalistik mengenai “mengapa hari itu kami tidak kuliah dalam ruang kelas, mengapa kami berkumpul disini, siapa yang saya undang untuk kalian hari ini dan apa yang akan orang yang saya undah lakukan”, Sastrawan rekan dosenku tersebut, pria dengan panggilan Kang Ayi, lelaki tinggi dengan rambut menjulur panjang dengan celana jeans, mengingatkanku dengan vokalis slank pada era awal band tersebut memulai karirnya, ( minus tato di dada dan high saat manggung tentunya ) mulai berdiri, memperkenalkan dirinya, dan memberikan sebuah introduksi mengenai pembacaan puisi. Suatu jenis kegiatan seni yang mungkin kalah populer di kalangan anak muda generasi sekarang jika di bandingkan dengan hmmm… ambil satu contoh : ngeband.

Selesai introduksi, akhirnya pertunjukan utamanya dimulai : Pembacaan Puisi. Bukan pembacaan puisi kelas pemula dimana sang pembaca puisi berdiri gemetaran meremas secarik kertas dengan ekspresi tanggung dan membacakan puisi sekeras – kerasnya. Bukan. Yang satu ini pembacaan puisi yang telah dihafal di luar kepala oleh Kang Ayi, disertai aksi teatrikal dimana Kang Ayi menggunakan seluruh elemen tubuhnya yang bisa digunakan, untuk menjelaskan secara visual keadaan dari puisi tersebut. Satu teknik yang “di adaptasi dari teater”, akunya.

OK, sejenak aku terkesima. Untuk seseorang yang pengetahuan seninya berputar – putar diantara musik alternative, komposisi tidak umum incubus, Manga karangan beberapa mangaka, buku – buku pengembangan diri dan pokok bahasan yang jarang dibaca oleh rekan – rekan segenerasi dan postingan di blog, karya seni bernama pembacaan puisi ini ok juga. Ok jika dilakukan dengan melibatkan emosi, seperti yang dilakukan kang Ayi.

Seperti Brandon Boyd yang tengah menyanyikan Pantomime di Red Rocks venue : Impresif

Pesan moral dari post ini : Pembacaan Puisi merupakan sesuatu yang keren, jika dilakukan dengan tepat : Melibatkan perasaan.

Bagaimana menurut anda?

( Assigment untuk mata kuliah Bahasa Indonesia. Minimal 500 kata, maka keluar sisi lain saya : hiperbolis dan mengasosiasikan sesuatu kemana – mana. Well, bagaimana Pak Andika? )