Mengajarkan Karakter

by | Nov 1, 2012 | Essays | 2 comments

work beside the pool

Akhir-akhir ini gue sering keingetan pendidikan karakter yang kemarin-kemarin sering banget dibahas di ruang kuliah. Ada tujuan luhur yang bisa gue tangkep dari inisiatif pendidikan karakter ini karena pada dasarnya, character always triumphs knowledge, period. Lu bakalan lupa sama mayoritas materi yang diajarkan sekolah, tapi karakter yang terbangun dalam diri lu selama lu sekolah akan melekat pada diri lu selamanya kecuali ada fase lain dalam hidup lu yang membangun karakter yang lebih kuat.

Bagaimanapun, ada gap besar yang jarang banget kita sadari: karakter ngga bisa diajarin dalam bentuk materi, karakter cuma bisa dicontohin dalam kehidupan sehari-hari. Gue menyadari ini ketika ada temen yang heran dengan aktifitas commuting gue tiap hari rabu: berangkat ke jakarta jam 5 pagi, sore atau malam balik dan tengah malem udah sampe bandung lagi. Buat temen gue perilaku ini aneh tapi buat gue ini normal banget. Setelah gue pikir-pikir kenapa hal ini normal buat gue, ternyata tanpa sadar orang tua memang menunjukkan karakter kerja keras habis-habisan. Case in point: Dalam sepekan terakhir sabtu pagi teteh ke solo, sabtu soreh mamah ke bangka, senin sore teteh sampe ke bandung, selasa sore mamah sampe ke bandung, rabu subuh gue berangkat ke jakarta, rabu siang papah berangkat ke jogja. My parents show us how they work. Dijejalin contoh kaya begitu buat gue kerja dengan ritme cepat jadi terlihat normal.

Kembali ke pendidikan karakter, gue akhirnya berkesimpulan kalau karakter memang sesuatu yang tumbuh secara organik, bukan materi yang bisa diajarkan dalam kelas. Guru ngga akan bisa mendidik siswa untuk kerja keras kalo dianya sendiri menunjukkan kelakuan males-malesan. Guru ngga akan bisa membangun karakter berani dalam diri siswa kalo dianya sendiri ngga berani nge-kritisi kebijakan kepala sekolah secara berani. Guru ngga akan bisa ngebangun karakter haus akan ilmu pengetahuan dalam diri siswa kalo dianya sendiri males baca dan cuman manut sama textbook. Guru ngga akan bisa ngedidik siswa untuk jujur dan jangan nyontek kalo dianya sendiri selalu ngopi paste RPP atau nyontek pas uji kompetensi.

Children will not listen to what you have said. children will see how do you live your life.

***

Jalan tol Cipularang,
Rabu, 31 oktober 2012

Ditulis oleh mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris tingkat akhir yang kalau ditanya abis lulus lu mau jadi guru apa ngga selalu jawab ntar kalo gue udah berhasil dan uang bukan masalah, gue akan jadi guru. I’ll shape my character first.

Drafted using iA writer for iPhone. I just kinda realized that writing a blogpost using mobile phone is totally do-able.

2 Comments

  1. AMYunus

    Character building is interesting thing to be discussed. One point that I always consider when thinking of `new` education model, how to evaluate that character building is succeeded or failed? How to measure it? I still have no idea about such thing that could be an objective measurement for evaluating this.

    hmm *lagi mikir hubungan antara gambar sama judul* *njuk dikeplak Fikri* 😆

    • Fikri Rasyid

      As i said earlier in the post, character is developed organically. This isn’t proofed by any theory yet (which means this is just my idea, yet) I think the best way to evaluate character is by testing it in the real life situation. How does the student behave in his/her daily life? It’d require observation. It’d be a long shot and would need much time tho. It’d be more qualitative approach instead of quantitative.

      About the picture, actually that’s totally my personal story :p The situation is absolutely great for having a day-off, but still I’m working in front of tempting pool like that. Character. Doing what you need to do.