Gue punya teori, atau lebih tepatnya spekulasi (yang gue akui tidak dan belum memiliki dasar yang ilmiah), mengenai berbagai perayaan yang hari ini kerap dirayakan secara besar-besaran:
Suatu “hari” akan diperingati secara masif jika bisa dijadikan marketing gimmick yang berujung kepada peningkatan revenue: Ujung-ujungnya konsumerisme. Kalau suatu peringatan ngga bisa dijadiin marketing gimmick, ngga akan diperingati dan di blow-up besar-besaran.
Coba ambil satu hari yang dirayakan besar-besaran, lalu pikirkan industri apa yang bisa mengambil keuntungan dari “mempromosikan” hari itu:
- Valentine: coklat, pada dasarnya semua industri yang punya hubungan dengan “kasih sayang” dan mau mem-pink-kan ((Ngga pake mambo, duh)) tampilannya
- Tahun baru: kembang api, turisme, dll
- Idul Fitri: konveksi, kue, semua industri yang mau meng-integrasikan “bermaaf-maafan” dalam promosinya, dll.
Kalau ngga menguntungkan dalam skala besar, biasanya promosinya ngga besar-besaran. Contoh Idul Adha: yang untung dari Idul Adha pengusaha ternak potong yang notabene (setau gue ((CMIIW tho)) ) ngga ada pemain besar yang meraup untung besarnya. Selain faktor tradisi yang bermain, IMO faktor konsumerisme-kapitalistik ((I just made this term up now LOL)) ini juga mempengaruhi betapa ngga di-blow up-nya perayaan Idul Adha di media di beberapa kawasan seperti Indonesia.
Ini cuman teori-spekulasi gue aja sih. Kalo ada yang bisa melengkapi atau membantah, silahkan.
***
Fun question: berminat jadi bagian dan “diperbudak” konsumerisme tak bertepi? Ini ada lagu yang pas: Belanja Terus Sampai Mati oleh Efek Rumah Kaca.
0 Comments