Pendidikan yang ideal itu yang bagaimana sih? Belakangan pertanyaan sederhana ini kerap hinggap dikepala saya dan membuat saya memikirkan beberapa ide yang saya rasa akan sangat baik jika diimplementasikan:
Buat material pembelajaran sesederhana mungkin. Ini bukan masalah tingkat intelejensia namun masalah clarity dan efektifitas. Saya (dan saya yakin banyak teman-teman saya) sering kali menjadi tidak bersemangat membaca materi pembelajaran karena cara menyampaikannya ribet. Sudah pernah baca Getting Real-nya 37signals? Boy, cara mereka menyampaikan ide disana sangat-sangat efisien. Jadi ingat ini:
Be clear first and clever second. If you have to throw one of those out, throw out clever.
Jason Fried – 37Signals
Dua guru dalam satu kelas. Satu guru utama yang menyampaikan materi, dan satu guru bekerja sebagai wing man: berkeliling merapikan absen, membantu menertibkan siswa, menyiapkan peralatan, membantu murid yang kecepatan belajarnya agak lambat, dll. Biaya pelaksanaan pembelajaran mungkin akan lebih tinggi, tapi saya rasa efesiensi pembelajaran akan jadi lebih tinggi juga. Ohya, muridpun akan menjadi relatif tidak aneh-aneh karena kemampuan mengawas guru menjadi lebih luas.
Memanfaatkan media sosial untuk tujuan pendidikan. Fakta: murid zaman sekarang hidup pada zaman dimana online adalah suatu hal yang sangat lumrah. Jadi daripada dibatasi waktu online-nya, lebih baik siapkan konten-konten pembelajaran di media sosial dan arahkan aktifitas online mereka kesana. Instead of blaming or beating it, join and drive it.
Alokasikan lebih banyak sumber daya untuk mengembangkan softskill. Sudah sering sekali orang mengatakan bahwa softskill sangat berpengaruh di dunia kerja / professional. Herannya, saya tidak merasa ada satu mata pelajaran pun yang mengajarkan softskill-softskill yang penting secara menyeluruh. Contoh: jika kemampuan bernegosiasi itu sangat penting, mengapa tidak ada subjek “bagaimana cara bernegosiasi yang menguntungkan semua pihak“? Saya rasa subjek seperti ini akan sangat bermanfaat sekali.
Pendekatan berbasis proyek / portofolio. Satu hal yang saya pelajari dari pekerjaan freelance saya adalah klien / employer tidak melihat berapa besar IP saya: Mereka melihat portofolio saya dan apa saja yang sudah pernah saya selesaikan sejauh ini. Mereka membuat keputusan untuk mempekerjakan saya berdasarkan kemampuan -bukan gelar- yang saya miliki dan ekspektasi apa yang saya bisa selesaikan berdasarkan informasi yang mereka miliki dari proyek-proyek yang saya selesaikan.
Contohkan apa yang diajarkan. Menceramahi siswa tidak lagi efisien, terutama ketika mereka telah mencapai fase menjelang dewasa. Mereka tidak butuh ceramah yang bisa dilakukan siapapun. Yang mereka butuhkan adalah contoh dan role model untuk ditiru. Alih-alih menceramahi siswa tentang pentingnya kedisiplinan, tunjukan kedisiplinan guru dan institusi kepada mereka. Alih-alih memberitahu murid untuk memiliki etos belajar yang baik, tunjukan kerasnya etos belajar anda pada mereka. Alih-alih nasehat klise mengenai betapa murid harus menjadi pintar, tunjukan betapa pintarnya kamu dan apa saja keuntungannya menjadi orang pintar. Tindakan berbicara lebih lantang dan lebih efisien dari kata-kata.
Guru harus melek digital. C’mon, sekarang saja sudah tahun 2011.
Untuk sekarang, itu saja ide-ide dari saya. Dikemudian hari mungkin ada ide lagi yang muncul dan akan saya tambahkan disini. Sekarang giliran kamu: Apa yang kamu lihat sebagai masa depan pendidikan? Bagaimana wujud pendidikan yang ideal menurut kamu?
Mari berbagi ide. Hal ini akan menjadi sangat menarik sekali.
P.S: Silahkan mengkritisi ide-ide saya, diskusi yang konstruktif itu mengasyikkan ๐
The beautiful background image titled “English class” is courtesy of Jesse Gardner on Flickr.
Setuju sekali, mas Fikri.
Andaikan pendidikan di Indonesia benar-benar seperti ini tentu akan sangat menyenangkan. Ini berbeda jauh dengan apa yang ada di sekolah saya: guru datang terlambat, mengajar dengan cara yang sooo 2000-an, jadul… OMG, teman-teman saya (dan saya sendiri) sudah bosan.
Tapi ada seorang guru yang benar-benar disukai. Dia mengajar dengan diskusi yang apik, materi pembelajarannya benar-benar ia sampaikan dengan contoh-contoh yang mudah diterima, dan humoris! Tapi setiap ucapannya bermakna. Langka sekali.
Yeah, i can feel that. Di tiap sekolah selalu ada good teacher & bad teacher ๐
Anyhow, ada ide tambahan? ๐
Btw Fikri udah pernah survey ke sekolah2 macam Technonatura di Depok atau Qoryah Thoyyibah di Salatiga. Sekolah2 macam itu udah bisa dijadikan model sebagai sekolah yang ideal.
Wah, saya belum pernah mendengar nama sekolah2 itu. Terima kasih untuk informasinya, saya tertarik untuk melihatnya nih ๐
wah, awesome banget artikelnya… bener2 menggelitik, guru dimana semua orang adalah guru bagi mereka yang ingin belajar darinya, bagi sekelilingnya, bener2 harus kreatif dan inovatif, jadi tidak ada kata tidak untuk guru terus belajar dan belajar, sayangnya di universitas pun, media tekhnologi masih sebatas plug and play, tidak ada inovasi, kreasi presentasi ala kadarnya, penjelasan presentasi sama dengan slidenya, sehingga boring, jenuh, ngantuk, bukan hal aneh di kalangan pelajar.
Ya, banyak dosen yang seperti itu sih. Kalau dosen yang presentasinya membosankan, perlu baca http://presentonomics.com mereka ๐
haha… i like this. ๐
Haha, thanks ๐
oke, saya pernah liat di NHK tentang pendidikan Jepang. disana, ada seorang yang jadi guru seni ‘freelancer’. dia datang dan menantang anak-anak SD di suatu daerah utk bikin karya dari sebuah seruling. apapun jadinya, dia apresiasi.
di pertemuan selanjutnya, si guru bawa drum dan suruh buat perkusi di aula. dia yg jadi director dan mimpin harmonisasinya. keren!
sampai situlah pertemuan singkat sang guru dengan murid SD di Jepang.
PS : itu guru udah master lo. pernah ikut misi ‘trauma healing’ di Afrika. enak kali ya, kalo ada kayak gitu. ๐
Wah, thanks untuk info-nya. Nama sang Guru itu siapa ya? Penasaran saya ๐