Saya suka lucu dengan orang tua berkata “besok kan ujian, ayo menghapal!” sebagai instruksi belajar kepada anak-anaknya. Apakah mengafal = belajar?

Esensi belajar

Masyarakat modern pergi bersekolah dengan harapan setelah lulus nanti bisa “mendapatkan kehidupan yang lebih baik” atau dengan kata lain dapat kita sederhanakan menjadi “mendapatkan pekerjaan yang layak”. Dimana-mana, yang namanya “bekerja” itu memecahkan masalah. Masyarakat punya masalah bagaimana caranya agar anak-anak mereka pintar: dosen dan guru memecahkan masalah tersebut. Pemimpin perusahaan memiliki masalah tidak bisa mengerjakan semuanya sendirian: karyawan memecahkan masalah tersebut. Dan seterusnya dan seterusnya.

Jadi seharusnya, pendidikan didesain untuk menciptakan lulusan-lulusan pemecah masalah yang handal. Apa gunanya Sarjana S1 manajemen yang hafal seluruh buku teks namun tidak bisa memecahkan masalah seperti bagaimana caranya meningkatkan performa karyawan?

Menghafal, adalah masa lalu

Seriously, saya rasa ungkapan “besok kan ujian, ayo menghapal!” adalah masalah budaya. Di tahun 1950-an (tahun dimana orang tua masa kini bersekolah), tidak ada buku dan pena. Hanya ada batu tulis dan batu kerik dimana selesai pelajaran yang satu, murid-murid harus menghapus kembali apa yang mereka catat diatas batu tersebut untuk dapat mencatat isi pelajaran berikutnya. Beres pelajaran berikutnya? Hapus lagi catatannya, timpa dengan catatan kelas berikutnya. Murid terpaksa menghafal karena keterbatasan kondisi.

Hari ini? Selamat datang di era informasi. Siapa yang menguasai informasi, dialah juaranya. Masalahnya adalah kita kebanjiran informasi. Mampukah kita memiliah-milah mana informasi yang tepat dan dapat digunakan sebagai rujukan? Tahukah kita kemana kita harus mencari sumber informasi yang valid dan dapat digunakan sebagai rujukan? Tahukah kita bagaimana mengolah informasi tersebut menjadi keputusan yang tepat? Beranikah kita mengimplementasikan kesimpulan yang kita buat berdasarkan hasil olahan informasi tersebut?

Jadi kesimpulannya, adalah…

Jika tujuan dari ujian adalah mendapatkan skor yang sebaik-baiknya (yang mana pada dasarnya agak bertentangan dengan konsep evaluasi pembelajaran yang mana evaluasi diciptakan untuk mengetahui sudah sejauh mana pencapaian peserta didik – saya sederhanakan tujuan ujian untuk konteks tulisan ini saja) maka seharusnya kita meninggalkan anjuran “besok kan ujian, ayo menghapal!” dengan anjuran “besok kan ujian, ayo bagaimana caranya supaya kamu bisa dapat nilai yang baik dengan cara yang baik dan jujur?”.

Gerakkan manusia untuk bergerak mencari jawaban, bukan jejali mereka dengan instruksi.

P.S.

  • Jawaban “besok kan ujian, ayo bagaimana caranya supaya kamu bisa dapat nilai yang baik dengan cara yang baik dan jujur?” versi saya adalah “pahami konsepnya”, bukan “hafalkan bukunya”. Bagaimana dengan jawaban versi kamu? 😉
  • Tulisan ini terpikir oleh saya ketika menyimak penjelasan Prof. Dr. Nenden Lengkanawati M.Pd mengenai sejarah media pembelajaran di kelas Media Pembelajaran selasa lalu. Special thanks to her, then 🙂