Full-Time Mom

by | Aug 14, 2013 | Essays | 10 comments

Cita-cita nyokap gue yang seorang dosen senior di salah satu perguruan tinggi negeri (udah 23 tahun ngajar) dan pembicara produk nasional sekaligus leader / distributor di salah satu perusahaan multi-level marketing yang sudah established di Indonesia selama 10 tahun lebih itu sederhana:

Mamah mah sebenarnya kepengen jadi Ibu Rumah tangga, A.

Begitu ucap nyokap gue suatu waktu.

Yang menyebabkan impian itu belum tercapai sebenarnya klise: tuntutan ekonomi. Nyokap pernah membuka angka yang buat gue masih lumayan fantastis. Sebuah keluarga kelas menengah dengan anak tiga dan fokus ke pendidikan anak butuh dana operasional sekitar 10 juta per bulan. Plus plos lah.

Dengan kebutuhan dana sebesar itu, mau tidak mau nyokap harus ikutan memenuhi kebutuhan rumah, terutama setelah krisis moneter di tahun 1998. Kembali lagi ke awal tulisan ini, ada satu kejadian yang sangat monohok buat nyokap yang mengakibatkan beliau sebenarnya sangat ingin jadi ibu rumah tangga.

Waktu itu pasca krisis moneter, tahun 1999 – 2000an. Bokap dan nyokap seingat gue sedang berusaha keras merintis bisnis sendiri (gue lupa, budidaya jangkrik untuk pakan ikan hias apa jamur tiram waktu itu), disamping keduanya juga merupakan dosen di sebuah PTN. Karena kesibukannya, adek gue jadi lebih banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga yang oleh kami dipanggil “bibi“. Oleh adik gue, “bibi” ini dipanggil “ibu” karena intensitas pengasuhannya sedang nyokap dipanggil “mamah” oleh kita semua.

Suatu ketika, pulang aktivitas sehari-hari, nyokap mengantar pulang bibi karena bibi tidak tinggal di rumah melainkan pulang-pergi. Lalu adik gue mulai menangis.

“Pengen sama ibu”, begitu tangisnya.

Padahal saat itu, adik gue masih balita ini sedang bersama nyokap yang baru saja mengantar bibi pulang. IMO, mustahil untuk seorang ibu untuk tidak sakit hati mengalami kejadian itu. Kalau saja tidak karena kondisi ekonomi. Semua yang nyokap lakukan adalah demi anak-anak, memastikan ketiga-tiganya agar dapat hidup dengan layak dan mendapatkan pendidikan yang baik. Apa yang adik gue lakukan sewaktu itu gue pikir merupakan suatu hal yang naluriah, karena intensitas waktu yang dihabiskan dengan pengasuhnya. Tapi bisa ngga lu bayangkan perasaan seorang ibu, mendengar kalimat itu dari anaknya?

Kalau saja bukan karena kondisi ekonomi.

Don’t get me wrong. Gue ngga menganggap Ibu yang bekerja itu salah. Nyokap gue sendiri juga bekerja agar anak-anaknya bisa melewati tiap fase hidupnya yang mana membutuhkan biaya dengan selamat. Idealnya memang seorang ibu menjadi full-time mom yang terus hadir untuk anak. Tapi apa yang bisa kita katakan? Kondisi hidup kan tidak selamanya ideal, lagi-lagi kebutuhan yang bersifat ekonomis yang berbicara.

Beruntunglah kalian yang hidup di kondisi yang ideal. πŸ™‚

Buat yang tidak hidup di kondisi yang ideal? Sebenarnya tidak perlu takut juga sih, biasanya ada pelajaran lebih yang bisa diambil dari kondisi itu. Sepengalaman gue, karakter anak itu “nempel” dengan orang yang paling sering berada di sekitarnya. Pengalaman hidup nyokap yang sangat beragam (karena harus menghadapi kondisi yang tidak ideal) membuat gue belajar banyak dari beliau langsung. Dan banyak sekali hal yang gue pelajari dari nyokap yang bermanfaat sampai saat ini.

Jadi terlepas dari kondisi ideal atau ngga, faktanya anak itu bakalan belajar banyak dari ibu. Jadi kalo lu cewe dan entah lu cukup beruntung jadi full-time mom, terpaksa oleh kondisi untuk ikut berjuang menafkahi keluarga, atau untuk alasan aktualisasi diri tetap berkeinginan untuk ikut bekerja, lu harus sadari kalo anak itu belajar banyak dari Ibu. Seorang ibu harus berusaha untuk pintar karena nasib satu generasi setelah kita ada di pengawasan mereka (sekolah formal tidak selalu betul dan hampir pasti tidak mencukupi SEMUA kebutuhan pendidikan anak). Pendidikan dan pengetahuannya harus tinggi, terlepas dari apa yang dia pelajari didapat dari pendidikan formal atau tidak.

Orang yang bilang “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya mengurus keluarga” itu… gue ngga ngerti cara berpikir mereka gimana dan apa yang mereka pikirkan.

Nasib satu generasi di bawah ada di tangan perempuan. Spesifiknya, perempuan yang juga seorang ibu.

Beruntunglah mereka yang bisa jadi full-time mom. Tidak mengalami tuntutan kondisi yang mengharuskan mereka untuk bekerja dan mampu mengalahkan ego-nya untuk karena mementingkan masa depan anak-anaknya1.

Tapi terlepas dari itu, semua perempuan yang jadi ibu itu mulia. Full-time mom ataupun tidak.

Semua ibu itu mulia.

Gue akan ulangi sekali lagi, menghindari ada kata-kata gue yang dipelintir atau ada yang tidak menangkap pesan gue seutuhnya:

Semua ibu itu mulia.

Tidak semua orang hidup dalam kondisi yang sama, jadi kita semua tidak bisa pukul rata juga. Alasan orang kan berbeda-beda dan banyak sekali alasan yang tidak terlihat oleh mata. Hati-hati dalam menyimpulkan dan berucap itu perlu buat semua orang2. πŸ™‚

P.S.

I love, and always love you, Mom.

Catatan Kaki

  1. Pas nulis ini gue kepikiran Ibu Ainun istrinya B.J. Habibie. Dokter anak terkemuka, memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga untuk mendukung pertumbuhan anaknya. Kurang berat apa coba itu keputusan. Ohya, gue tau kejadian ini juga dari film-nya jadi bisa aja apa yang gue tahu ini bias. CMIIW.
  2. Gue kepikiran nulis ini juga karena semalam lumayan heboh masalah kultwitnya @felixsiauw di Twitter. In a way, niat dia baik (dakwah, dan dakwah itu tidak mudah) tapi cara penyampaiannya sepertinya ngga berkenan buat banyak orang. What can I say, ngga ada orang yang sempurna. Anyway, kalau tulisan gue ini menyinggung beberapa orang, gue minta maaf. Silahkan berikan saran dan masukan.

10 Comments

  1. Felix Widjaja

    Setelah baca, gw jadi terharu dan merasa rindu dengan Ibu.

    “Ibuuuuuuuuuuuuuuu”

    • Fikri Rasyid

      wuwuwuuuuuuu ibuuuuu *insert emoji here* :’)

  2. @kapkap

    Soal ibu rumah tangga v. ibu bekerja ini bikin senep. Banget. Masing-masing punya tantangannya sendiri-sendiri, dan satu pihak ga berhak menghakimi pihak yang lain, karena ya… Bukan idupnya dia.

    Gw ibu yang butuh aktualisasi diri, makanya gw kerja. Kalo gw ga kerja, sebenernya bisa. Tapi gw mau kerja. Gw butuh kerja. Kalo ga, energi gw bisa ga disalurkan dan bawaannya pasti marah-marah ke Wira. Gw pernah ngrasain soalnya, jadi ibu yang tinggal di rumah, adanya malah marah ke Wira terus. Begitu gw kerja, energi gw udah “lepas”, jadi pas ketemu Wira gw udah ngerasa hepi dan seneng. Mungkin baru itu cara terbaik untuk gw sekarang ini. Ga tau ke depannya. Gw sendiri termasuk beruntung karena tempat dan industri gw kerja ini sangat ramah dengan kehidupan seorang ibu dan seorang istri (ga terlalu menuntut lembur dan kerja melebihi batas waktu) jadi gw masih bisa komunikasi ke Wira. Makanya gw sebel kalo ada yang bilang, “jadi ibu rumah tangga kan enak! Di rumah doang!” Enak aja. Coba itu nyapu, ngepel, beresin rumah, plus jagain anak dalam satu hari DAN ga boleh cemberut atau mengeluh di depan suami.

    Selama ini doa gw cuma satu; jangan sampe gw melewatkan masa-masa penting dalam hidup Wira. Dan Alhamdulillah selama ini ga pernah. Gw ngeliat ketika dia pertama kali belajar merangkak, belajar jalan, dan belajar joget (hehehe.)

    Setiap ibu, setiap ayah, setiap anak, punya perjuangan masing-masing.

    • Fikri Rasyid

      Definitely. Makanya diakhir diulang lagi kalo:

      1. Semua Ibu itu mulia
      2. Masalah tiap orang itu beda dan kebanyakan masalah ngga keliatan oleh mata. Jadi ngga bisa asal judge dan di-generalisir begitu aja

      Tapi setelah baca komen Mbake disini, saya jadi kepikiran sebenarnya ada beberapa poin lagi sih yang ngga sempet dibahas diatas:

      1. Bener banget, jadi Ibu rumah tangga itu berat. banget. Saya nyuci piring aja begitu beres langsung sakit punggung -_-“
      2. Prinsipnya selama kewajibannya terpenuhi, harusnya ngga masalah

      Tapi kalo mau di-summary-in sih, intinya balik lagi: semua ibu itu mulia.

      Anyway, Wira mana Wira? Perasaan akhir2 ini jarang nulis tentang Wira lagi Mbak? :3

      • @kapkap

        “Prinsipnya selama kewajibannya terpenuhi, harusnya ngga masalah…”

        Subhanallah walhamdulillah kalo banyak orang (terutama lelaki) yang bisa berpikir seperti lu, Fik πŸ™‚ Iya, gw bilang “lelaki” dan mungkin terdengar sangat seksis, tapi masih banyak opini masyarakat dibangun oleh laki-laki. Ga bisa menyalahkan juga, karena budaya kita mayoritas patriarki.

        Konsep “hak dan kewajiban” ini lumayan blur, soalnya. Mungkin si ibu udah melakukan kewajibannya, tapi masyarakat masih menuntut lebih. Mungkin si ayah udah melakukan kewajibannya, tapi ya… Masyarakat masih menuntut lebih. Dan hal itu kadang bikin perasaan bersalah. Suami gw, kadang suka ngomong, “aku takut deh, kalo aku ngelewatin momen-momen penting Wira terus aku lagi di kantor.” Lha, padahal dia emang kerja, dan harusnya ga perlu merasa bersalah. Tapi ya gitudeh… Hehehe.

        Tapi gw rasa, yang penting itu adalah ketika si orangtua bener-bener ada buat si anak. Bukan sekedar fisik doang. Duduk sebelah anak, tapi sibuk sama gadget dan nyuekin anak, kayanya agak gimanaaaaa gitu, hehe. Insya Allah selama si anak yakin bahwa, “ayah ibu selalu ada buat aku,” itu sangat bagus sekali πŸ˜€ Semoga kita semua bisa menjadi orangtua yang baik dan bisa dipercaya oleh anak ya. Amiiiin.

        Soal Wira, aku seringnya nulisnya di Path soale Fik XD

        • Fikri Rasyid

          Masyarakat masih menuntut lebih

          IMO, kayanya kalo ngerjain “tuntutan” masyarakat melulu ngga bakal ada habisnya Mbak, cape XD

          Tapi gw rasa, yang penting itu adalah ketika si orangtua bener-bener ada buat si anak

          Oh, yang ini setuju banget :3 Kalo anaknya ngga dapet perhatian dari orang tua, nyari perhatian dari yang lain IMO. True story sik XD

          Soal Wira, aku seringnya nulisnya di Path soale Fik XD

          Aaak panteees XD

  3. Agus

    Sebagai bapak rumah tangga saya merasa tersisih huhu

    • Fikri Rasyid

      Lah katanya kemarin istri Pak Agus yang jadi full-time Mom, kok jadi Pak Agus yang full-time dad? XD *pembaca setia kalipengging*

      • Agus

        belum full time dad,masih harus ke jakarta 2 kali seminggu πŸ™‚

        • Fikri Rasyid

          Berarti masih almost full-time dad ya XD