Dua minggu lalu saya menjadi pager bagus di acara nikahan kakaknya teman baik saya. Weirdly enough, ada beberapa hal yang saya lihat tidak efisien dan saya malah terbayangkan hal-hal ini:
1. Debit / Credit VS Amplop
Saya pernah dengar cerita ada pihak keluarga mempelai yang tengil dan mengambil uang amplop yang ditujukan untuk pihak mempelai. C’mon, amplop dan gentong bergembok? Kenapa tidak sediakan merchant untuk gesek debit / credit card saja?
Note: Menggunakan cashless transaction ini pasti ada history transaksinya, siapa tahu jadi pada gengsi dan memberi lebih. :))
2. Flashback Pictures VS Real Time Photos, Videos or Tweets
Move on dong, kebahagiaan hari ini kok malah membahas foto-foto masa lalu? Buat twitter app: Tim dokumentasi dan siapapun bisa berpartisipasi meng-capture gambar dan mempost gambar tersebut menggunakan hashtag tertentu ke twitter. Fetch foto atau tweet dari hashtag yang sudah ditetapkan, dan buat antrian slideshow. Antrian slideshow kemudian dimoderasi secara manual untuk menghindari hashtag abusing seperti yang dilakukan… ah sudahlah (cc: admin-admin @p3tir cabang bandung). Jika foto dan twit yang dipost memang kontekstual dan tepat, tampilkan di giant screen.
Note: kurang lebih seperti visibletweets.com namun lebih ‘rich media’ dan dilengkapi fitur moderasi lah (ish bisa untuk ide web app ini LOL).
Note 2: dengan metode ini, foto pre-wed jadi tidak kontekstual. Pre-wed? live-picture-wed lah! m/
3. Wall of Fame VS old-school sign book

Wall of Fame di Pesta Blogger 2009. Hmm.. bisa buat pasang sponsor pernikahan juga kali y? :))
Satu hal yang saya ingat sekali saat Pesta Blogger 2009 silam adalah wall of fame besar yang dipajang di pintu masuk. Ini keren sekali mengingat nature masyarakat kita yang suka sekali difoto. Bayangkan area wall of fame di sebuah pernikahan: buat area tersebut semenarik mungkin sehingga orang-orang akan mengabadikan momen di wall of fame tersebut dan mem-post foto tersebut di jejaring sosial mereka. Salah satu tujuan resepsi untuk ‘mengabarkan rekan, kawan dan keluarga bahwa mempelai sudah menikah‘ akan menjadi jauh lebih tercapai. Digital media rules.
Bahkan lebih keren lagi, bayangkan jika setiap masuk undangan diabadikan momen-nya di wall of fame tersebut sebagai salah satu metode dokumentasi menggantikan buku tamu yang oh-so-last-century.
4. More Interactive Wedding Site
Bayangkan undangan pernikahan yang isinya hanya statement bahwa si A & si B akan menikah dan lebih detailnya silahkan kunjungi site ini. Atau lebih misterius lagi, isinya hanya statement pihak mempelai + QR code untuk discan menggunakan smartphone yang mana nantinya akan meredirect ke wedding site. Wedding site ini dilengkapi Interactive Map, Gallery, microformat untuk tap-and-add-to-appointment app, konfirmasi kehadiran, dll.
***
Saya sih jadi terpikir akan butuh biaya berapa untuk merealisasikan gagasan-gagasan ini y? :)) Ada hal lain lagi yang terpikir oleh kamu?
Gw dulu pernah ngerjain iWedding. Semua guestbook pake touch screen. Lalu ada interactive floor dipasang di karpet merah menuju pelaminan. Kendalanya adalah, karena yang datang adalah orang2 yang kebanyakan sudah tua, menggunakan touch screen guestbook malah jadi lebih lama daripada menulis di buku. Kalau mau lebih cepat, berarti jumlah touch screen guestbook harus lebih banyak. Semakin banyak yang disewa, artinya biayanya semakin mahal. Jadi nggak cocok untuk pernikahan yang budgetnya terbatas.
Satu lagi yang kita suka lupa, wedding itu bukan semata-mata acara si mempelai. Lebih tepatnya kalau itu adalah acara orang tua para mempelai. Anggapannya itu adalah biaya yang terakhir mereka keluarkan untuk “melepas” anak mereka. Yang paling banyak datang malah biasanya adalah teman-temannya orang tua, yang bisa jadi lebih gaptek daripada yang muda-muda.
Intinya nggak semua sih bisa diselesaikan dengan solusi digital. Ada yang bagus dan irit kertas memang. Modal Facebook Invite juga sudah beres kok. Namun untuk mereka yang gaptek bagaimana? Hihihi makanya undangan kertas masih tetap penting.
Ada teman juga kok dulu yang menampilkan live tweet pas pernikahannya. Menarik sih, tapi ya hanya sekedar tampilan saja, karena di saat acara, nggak ada engagement antara si mempelai dengan yang muncul di layar (ya nggak mungkin juga kali ya :D).
Gue nyadar banget kalau budaya di Indonesia itu nikahan bukan acaranya si mempelai namun lebih ke acaranya orang tua si mempelai, makanya pas posting di-twitter itu judulnya juga “ngayal babu” :))
Mengenai guestsbook berbasis touch itu, gue yang relatif geeky aja masih canggung nulis di touch interface :)) Makanya suggestion gue juga foto di wall-of-fame nya aja.
Hihi, iya sih. Terutama untuk keluarga / kolega orang tua, ngga mungkin banget pake solusi QR code itu :))
Buset kalo dibales2in itu yang sungkeman gimana? XD Butuh SIRI kali buat bales2in-nya ya :))
Manteb nih tulisannya terinspirasi banget, mungkin bisa digabungkan antara digital dan cara lama, jadi defaultnya pake cara lama namun ditambahin fitur wall of fame sama live twit, mungkin gak ya ada jasa sewa peralatan buat pernikahan itu nambahin fitur wall of fame sama live twit.
Masalah undangan juga lumayan tuh klo di mix sama facebook event soalnya gw sendiri lebih suka lewat sms or telp ketimbang pake undangan (klo yang nikah harusnya seneng bisa mengurangi biaya undangan dan biaya bisa dialokasikan ke bagian lain).
Wah nice to hear that cak XD iya memang by default memang pasti yang lama core-nya, ini mah buat engagement aja dengan undangan 😀
Memang lebih enak begini, tapi seperti yang @pitra bilang diatas: ngga semua orang tech-savvy :3
heheheheehehhe.. Kebayang Emak saya yang tinggal di Tanjung laut, pesisir sana pasti heran ngeliat resepsi yang beginian, Nelepon saja, dia tanya dulu “Udah tesambung kah?”.
:)) generation gap.
Idenya menolak mainstream. 🙂
Ngebayangin si mempelai duduk manis sambil sibuk balas mention pakai gadget…
Ya ngga harus realtime pada saat itu juga nge-reply-nya. Intinya kan untuk nge-display aja ini mah :))
Wedding Site kaykanya lebih menarik…
Wptheme mana wptheme :))