Examination Agreement

Note: It feels like a shit de javu. Rasanya baru kemarin-kemarin ini topik mengenai washback effect dibahas di kelas Teaching English to Young Learner, eh sekarang muncul kasusnya.

***

Lynne Cameron dalam bukunya yang berjudul Teaching Language to Young Learners menekankan bahwa asesmen seharusnya mendukung proses belajar dan pembelajaran (2001: 219). Asesmen seharusnya berfungsi sebagai tahapan untuk menguji hasil proses belajar dan pembelajaran. Ketika asesmen sudah bergeser fungsi dari tahapan untuk menguji hasil proses belajar dan pembelajaran, muncullah washback effect. Washback effect (Cameron, 2001: 216) adalah istilah yang digunakan Cameron untuk mewakili kondisi dimana asesmen sudah salah disalah posisikan sebagai tujuan dan bukan lagi tahapan untuk menguji hasil proses belajar dan pembelajaran.

Ketika asesmen dijadikan tujuan, tujuan proses belajar dan pembelajaran yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan siswa malah bergeser menjadi “pokoknya lulus ujian“. Ujian, menurut Cameron, hanyalah salah satu perangkat asesmen. Evaluasi > Asesmen > Ujian. Evaluation > Assessment > Testing (Cameron, 2001: 220).

IMO, berikut ini merupakan contoh-contoh nyata dari washback effect / menjadikan “lulus ujian” sebagai tujuan:

  1. Contoh kecil: proses pembelajaran diarahkan menjadi “agar kamu lulus ujian UNAS“. “Who gives a shit about contextual knowledge of English grammar? Yang penting kamu semua lulus UN, kepala sekolah senang, dan saya tidak dipecat.
  2. Contoh besar: orang tua siswa, karena berorientasi anak-anak kesayangannya harus lulus UN, memasukkan putra-putrinya ke bimbel “dijamin lulus ujian atau uang kembali“. Mereka yang jeli akan peluang ini jadi makmur.
  3. Contoh spektakuler: Seorang ibu diusir dari desanya karena protes sekolah melegalkan tindakan tidak jujur: “pokoknya murid-murid lulus dan nama baik sekolah terjaga“, begitu mungkin pikir pihak sekolah. Berita ini agak tidak masuk akal saya, kok ada ya masyarakat separah ini? Sebaiknya anda langsung baca saja disini saja: Ny Siami, Si Jujur yang Malah Ajur.

Washback effect ternyata bisa separah ini. Apakah pihak-pihak yang menggolkan UNAS pernah memikirkan hal ini sebelumnya ya?

Apa pendapat kamu?

P.S.:

  • Saya menyadari kalau referensi saya ditulisan ini hanya buku-nya Cameron. Jadi agak dangkal memang, tapi yang saya tahu sekarang ya baru itu, so be it. Kalau ada teman-teman yang mau menambahkan atau mengoreksi, monggo.
  • Kalau kamu penduli dengan isu ini, baca juga gerakan #IndonesiaJujur yang digagas oleh Bincang Edukasi. A must read & participate kalau kamu masih punya hati. Kalau tidak punya hati ya tidak usah dibaca.
  • Hampir semua poin mengenai #IndonesiaJujur sudah disampaikan oleh teman-teman blogger lain di tulisan ini. Saya menambahkan yang belum saja.
  • Ohya, pandangan saya mengenai mencontek: Sejak kuliah saya sudah berhenti mencontek. Dipikir-pikir, daripada nyontek terus hasil kuliah saya jadi tidak valid karena UAS merupakan faktor yang mempengaruhi IPK, mendingan saya usaha sendiri dan kalo tidak bisa ya ngarang aja sekalian. Setidaknya itu isi ujian 100% hasil kepintaran / kebodohan saya. Kalau IPK saya tidak valid hasil kerja saya, saya tidak bisa bilang ke ayah / ibu saya yang membiayai saya kuliah “Nih pap, mam, IPK Aa semester ini. Ngga percuma capek-capek bayarin Aa kuliah“.

***

Reference:

Cameron, L. (2001). Teaching Languages to Young Learners. Cambridge: Cambridge University Press.

***

Udah dulu yak, saya kembali lagi mengerjakan tugas yang dikumpulkan senin ini. Ciao!