Empatinya Dimana?

by | May 4, 2015 | Essays | 2 comments

Gue masih heran dengan pihak-pihak yang katanya membela “kebebasan berpendapat” tapi mempraktekannya dengan cara yang provokatif. Buat gue kedengarannya seperti ini:

Lu punya tetangga beranak enam dan udah tau beberapa diantaranya mudah tersinggung dan bersenjata, tapi lu tetep aja ngolok2 ibunya (tetangga lu).

Pertanyaan yang muncul di kepala gue:

  1. Ini empatinya dimana sih?
  2. Sesusah itu ya menjaga perasaan dan kehormatan orang lain?
  3. Ngga nemu cara lain yang lebih baik atau kecerdikannya memang mentok di memprovokasi orang lain?

2 Comments

  1. @kapkap

    Kalo refer ke kejadian di Amrik, argumennya lebih ngaco lagi 😐

    “Itu kan ketentuan agama lu! Gw menolak nurut! Suka-suka gw dong, dan gw ga mau nurut sama figur imajiner di langit yang lu sembah-sembah itu!”

    Oke…

    Mau ngumpat atau emosi balik ya cape. Nyakit-nyakitin hati aja. Cuma bisa berdoa.

    • Fikri Rasyid

      IMO persis seperti analogi di atas sebenernya: menghina tetangga. “Mungkin” dibolehkan atas nama kebebasan berpendapat dan konstitusi, tapi pada mikirin perasaan orang dan logika bahwa mereka bisa tersinggung (dan beberapa keluarga dari tetangga bisa melakukan hal yang tidak dibayangkan atas hal tersebut) ngga sih?

      Jadi penasaran sama orang-orang macam begini: apa yang akan mereka lakukan kalo jadi guru dan mendapati salah seorang muridnya menghina-hina keluarga temannya dan temannya yang dihina ini emosi. Mendisiplinkannya gimana?